Selasa, 16 Februari 2016

Bismillahirrahmaanirrahim kali ini tentang: Paragraf eksposisi



Paragraf Eksposisi: Tsunami
“ Ribuan kilo jalan yang kau tempuh lewati rintangan untuk aku anakmu. Ibuku sayang masih terus berjalan walau tapak kaki penuh darah penuh nanah. Seperti udara kasih yang kau berikan tak mampu ku membalas ibu... Inginku dekat dan menangis dipangkuanmu sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku dengan apa membalas ibu...ibu...ibu”
Kau tahu lirik lagu itu? Aku yakin kau akan menjawab iya. Bahkan mungkin kau sudah tahu makna demi makna didalamnya melebihi sang penciptanya sendiri. Kau sudah melangkah terlalu jauh, kawan. Jadi, aku tak akan membahas itu lagi  karena sekarang aku akn membahas sebuah mimpi buruk 12 tahun yang lalu. Aku akan mengembalikanmu ke kejadian 12 tahun yang lalu. Tsunami Aceh. Kau masih ingat?
Tapi, sampai sekarang mungkin kau masih bertanya kenapa aku menghubungkan peristiwa keji itu dengan lirik lagu yang tidak kalah kejinya. Tapi tetap saja peristiwa itu jauh lebih keji. Iya kan? Karena tak hanya para ibu yang menyelamatkan anaknya saat itu karena memang semua orang mendadak seakan tak punya keluarga lain selain ia dan raga fananya. Semua orang berjalan atau lebih tepatnya berlari untuk diri mereka sendiri saja. Hubungan persaudaraan seakan putus dan pudar seketika oleh ombak besar yang menghantam tiap detik-detik yang menakutkan.
Darah dan nanah juga ikut berlari bersama langkah putus asa mereka. Tak hanya itu karena, airmata juga tanda tanya turut memenuhi ruang duka bersamanya. Disela segala kekhawatiran akan hidup yang seakan telah berujung, sempat terdengar lantunan doa-doa dari waktu ke waktu yang terus mereka coba panjatkan dan berharap bisa menjadi pengantar mimpi dan lebih berharap lagi akan terbangun dari semua keadaan buruk yang akan berganti menjadi baik-baik saja.
Tapi, semua harapan akan selalu pupus seketika ketika fakta akan datangnya tsunami dengan pasukan air yang memang selalu bersifat menghantam dan menyakitkan dimana dan kapan saja telah betul-betul ada di depan mata mereka. Para burung yang beterbangan atau tindak tanduk aneh lainnya dari para mahkluk ciptaan-Nya seakan tak pernah terbaca oleh logika atau bahkan tak pernah disadari oleh para penghuni bumi yang terlalu terlena akan hidup yang lebih fana dari  gelombang besar itu.
Sebelumnya apa kau sudah tahu darimana tsunami itu berasal? Dari bawah laut tentunya dan hanya dari air yang tenang sama dengan air yang sering kau minum atau kau gunakan untuk mandi. Hanya saja ada sesuatu yang mendesaknya naik. Pertempuran luar biasa dari dasar laut berupa patahan dan lipatan mendesaknya naik dan mengamuk di sepanjang apa yang ia lewati. Tak pandang bulu karena memang tak mampu memandang. Tak pilih kasih karena memang tak mampu memilih. Semuanya disikat habis tak berdesis.
Tanpa desis, tanpa ampun serta tanpa beritahu sekalipun namun tetap saja mampu menjadikan tanggal 26 Desember 2004 menjadi merah menakutkan. Hari itu semuanya libur. Sekolah, kantor, bahkan pengampunan juga libur. Kau tahu? Pasti. Karena mungkin kau juga menjadi salah satu orang yang turut prihatin atas peristiwa itu.
Berbagai berita tentangnya terseebar dimana-mana. Tapi, tetap saja selalu berakhir dengan tanda tanya suram yang selalu saja mengundang rasa penasaran setelah prihatin. Barulah setelah seorang peneliti Simon Dean dari University og Southampton mengungkapkan teorinya bahwa perbedaan patahan dan lipatanlah yang menyebabkan bencana dahsyat itu dan terang benderang sudahlah semuanya menurut banyak orang dan mungkin juga kau.  Tapi, tidak denganku. Haruskah kukatakan bahwa setelah ungkapan teori itu malah sebuah pertanyaan lebih besar muncul dalam benakku. “ Apakah hanya karena itu? Aku yakin tentu tidak. Karena sebuah alasan dan penjelasan yang jauh lebih besar tersmbunyi dengan rapi di dalamnya.
Aku meyakini alasan besar itu. Dan aku jauh lebih yakin itu berhubungan dengan sang penciptaa. Justru ialah yang mendesak tuan gelombang besar mengamuk pada kawan-kawan kita disana. Tapi hal lain yang sekarang ada dalam pikiranku adalah bahwa ia lebih dahulu terdesak dari kawan-kawan kita itu.
Entah apa sebab yang sebenarnya karena satu atau dua teori tak akan sangggup mengungkap misteri. Tapi, satu hal yang pasti gelombang besar itu tak akan hanya datang sekali. Kita tak hanya akan bersedih sekali atau dua kali karena akan terjadi berkali-kali. Entah dimana dan kapan atau dengan siapa. Yang pasti bahaya bisa selalu mengancam dan berada di sekitar kita.           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar