Paragraf
Eksposisi: Tsunami
“ Ribuan kilo jalan
yang kau tempuh lewati rintangan untuk aku anakmu. Ibuku sayang masih terus
berjalan walau tapak kaki penuh darah penuh nanah. Seperti udara kasih yang kau
berikan tak mampu ku membalas ibu... Inginku dekat dan menangis dipangkuanmu
sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku
dengan apa membalas ibu...ibu...ibu”
Kau tahu lirik lagu
itu? Aku yakin kau akan menjawab iya. Bahkan mungkin kau sudah tahu makna demi makna
didalamnya melebihi sang penciptanya sendiri. Kau sudah melangkah terlalu jauh,
kawan. Jadi, aku tak akan membahas itu lagi karena sekarang aku akn membahas sebuah mimpi
buruk 12 tahun yang lalu. Aku akan mengembalikanmu ke kejadian 12 tahun yang lalu.
Tsunami Aceh. Kau masih ingat?
Tapi, sampai sekarang
mungkin kau masih bertanya kenapa aku menghubungkan peristiwa keji itu dengan
lirik lagu yang tidak kalah kejinya. Tapi tetap saja peristiwa itu jauh lebih
keji. Iya kan? Karena tak hanya para ibu yang menyelamatkan anaknya saat itu
karena memang semua orang mendadak seakan tak punya keluarga lain selain ia dan
raga fananya. Semua orang berjalan atau lebih tepatnya berlari untuk diri
mereka sendiri saja. Hubungan persaudaraan seakan putus dan pudar seketika oleh
ombak besar yang menghantam tiap detik-detik yang menakutkan.
Darah dan nanah juga
ikut berlari bersama langkah putus asa mereka. Tak hanya itu karena, airmata juga
tanda tanya turut memenuhi ruang duka bersamanya. Disela segala kekhawatiran
akan hidup yang seakan telah berujung, sempat terdengar lantunan doa-doa dari
waktu ke waktu yang terus mereka coba panjatkan dan berharap bisa menjadi
pengantar mimpi dan lebih berharap lagi akan terbangun dari semua keadaan buruk
yang akan berganti menjadi baik-baik saja.
Tapi, semua harapan
akan selalu pupus seketika ketika fakta akan datangnya tsunami dengan pasukan
air yang memang selalu bersifat menghantam dan menyakitkan dimana dan kapan
saja telah betul-betul ada di depan mata mereka. Para burung yang beterbangan
atau tindak tanduk aneh lainnya dari para mahkluk ciptaan-Nya seakan tak pernah
terbaca oleh logika atau bahkan tak pernah disadari oleh para penghuni bumi
yang terlalu terlena akan hidup yang lebih fana dari gelombang besar itu.
Sebelumnya apa kau sudah
tahu darimana tsunami itu berasal? Dari bawah laut tentunya dan hanya dari air
yang tenang sama dengan air yang sering kau minum atau kau gunakan untuk mandi.
Hanya saja ada sesuatu yang mendesaknya naik. Pertempuran luar biasa dari dasar
laut berupa patahan dan lipatan mendesaknya naik dan mengamuk di sepanjang apa
yang ia lewati. Tak pandang bulu karena memang tak mampu memandang. Tak pilih
kasih karena memang tak mampu memilih. Semuanya disikat habis tak berdesis.
Tanpa desis, tanpa
ampun serta tanpa beritahu sekalipun namun tetap saja mampu menjadikan tanggal
26 Desember 2004 menjadi merah menakutkan. Hari itu semuanya libur. Sekolah,
kantor, bahkan pengampunan juga libur. Kau tahu? Pasti. Karena mungkin kau juga
menjadi salah satu orang yang turut prihatin atas peristiwa itu.
Berbagai berita
tentangnya terseebar dimana-mana. Tapi, tetap saja selalu berakhir dengan tanda
tanya suram yang selalu saja mengundang rasa penasaran setelah prihatin. Barulah
setelah seorang peneliti Simon Dean dari University og Southampton mengungkapkan
teorinya bahwa perbedaan patahan dan lipatanlah yang menyebabkan bencana
dahsyat itu dan terang benderang sudahlah semuanya menurut banyak orang dan
mungkin juga kau. Tapi, tidak denganku.
Haruskah kukatakan bahwa setelah ungkapan teori itu malah sebuah pertanyaan
lebih besar muncul dalam benakku. “ Apakah hanya karena itu? Aku yakin tentu
tidak. Karena sebuah alasan dan penjelasan yang jauh lebih besar tersmbunyi
dengan rapi di dalamnya.
Aku meyakini alasan
besar itu. Dan aku jauh lebih yakin itu berhubungan dengan sang penciptaa.
Justru ialah yang mendesak tuan gelombang besar mengamuk pada kawan-kawan kita
disana. Tapi hal lain yang sekarang ada dalam pikiranku adalah bahwa ia lebih
dahulu terdesak dari kawan-kawan kita itu.
Entah apa sebab yang
sebenarnya karena satu atau dua teori tak akan sangggup mengungkap misteri.
Tapi, satu hal yang pasti gelombang besar itu tak akan hanya datang sekali.
Kita tak hanya akan bersedih sekali atau dua kali karena akan terjadi
berkali-kali. Entah dimana dan kapan atau dengan siapa. Yang pasti bahaya bisa
selalu mengancam dan berada di sekitar kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar