Selasa, 29 Maret 2016

Bismillaahirrahmaanirrahim. Kali ini cerpen berjudul Aku dan Ayah siap untuk dibaca. Enjoy it



Aku, neraka dan surga ayah
Megah bagai neraka. Ingin terus diteriakkan batin yang kini haus akan hidup dan damai, tak kunjung datang hingga akhirnya ia akan menyerah dan berhenti menyapa hidup.
Di kota inilah aku pertama kali memulai nafas kehidupan dan membalas dengan karbon. Dan aku tak sendiri. Ada banyak masyarakat lain yang turut berbagi oksigen denganku, bahkan terlalu banyak hingga memuakkan. Mulut ku saja kini sudah mengganti peran hidung menghirup oksigen dengan omelan kasar yang kadang tak pantas. Dan tak akan pernah kusalahkan diriku, karena hidup disini bukan pilihanku. Hidup diantara orang orang individualis ini bahkan sangat tak ingin aku. Mereka yang salah. Mengapa memilih hidup ditempat yang sama denganku? Disuatu tempat sesempit ini, andai kutahu ketika hirupan nafas pertamaku, mungkin akan kupilih berlindung kembali dirahim ibu. Dan dia tak akan menolak menyisihkan sebuah tempat kecil dalam tubuhnya untukku. Tapi kini tak akan bisa lagi, kini ia bahkan sudah terlalu tua hanya untuk sedikit goresan dikulitnya. Namun kasihnya tak kan rontok oleh waktu yang egois berlari meninggalkan kenangan. Kasih yang selalu membuat seluruh manusia di jagat raya ini yang terlahir sebagai seorang anak, tidak akan mampu menolak diri untuk memanggil ibu dalam keadaan sadar atau tak sadar. Aku sama, bahkan jika aku berdoa tak ada yang lain yang ingin kuminta, aku hanya berharap didunia ini hanya hidup anak dan para ibunya. Tak ada yang lain, bahkan tak akan pernah ada. Namun tuhan tak ingin doaku, ia menghadirkan yang lain. Yang berbeda denganku dan ibu. Dan terlihat jauh lebih kuat fisiknya dari ku dan ibu. Yang kata orang disebut dengan ayah.
Ayah. Tak ada yang istimewa dari sosoknya di hidupku atau mungkin juga dihidup semua anak di planet ini. Bahkan nyaris tak kuutahu apa sebenarnya peran seorang ayah. Jika hanya memenuhi materi, aku dan ibu jelas juga bisa. Itulah kenapa aku ingin menyingkirkannya dari hidupku. Dan pernah terfikir mungkin dengan mengirimnya ke planet mars akan sangat membantu. Itulah mengapa aku sangat ingin menjadi astronomi secepat mungkin untuk meneliti kehidupan disana, jika astronomi sekarang tak sanggup. Maka aku yang akan terjun langsung. Tapi tak kunjung datang waktu itu, hingga aku mulai muak. Setiap hari harus melihatnya menyambut pagi dengan setelan jas rapi yang menjijikkan. Dan menyambut senja dengan pakaian yang sama. Bagai patung tak punya hati yang terus berjalan disekitar rumah. Tak pernah menegur adalah kebiasaannya. Atau mugkin tak pernah mengerti akan bahasa yang kami gunakan. Ia sungguh membosankan.
Tapi pada satu hari penting di keluarga kami, ia betul betul ingin membuatku meledak. Dia tak kunjung  datang seluruh tamu telah siap menyambut kebahagiaan keluarga kami. Kulihat wajah ibuku saat itu memerah entah karena marah atau malu. Beban berat seakan menumpuk digaris wajahnya. Namun tak akan bisa terlampiaskan tentunya, aku yakin. Karena ia sangat sayang pada laki laki robot itu. Entah apa yang  telah ia dapat atau apa yang ia nantikan dari orang seperti itu. Aku selalu mencoba menenangkan ibu walau kuyakin ia tak butuh itu, karena ia wonder woman ku. Tapi tak akan bisa kuterima perbuatan lelaki jahat itu, karena aku tak sesabar  ibu.  Sudah kusiapkan senjataku, aku kini telah siap berperang dengan penjajah dirumah ini.
Dan ia datang, terlihat sangat lesuh. Kutahu itu pura-pura. Kuhampiri dia dengan tekad dan amarahku yang betul betul telah menggebu. Tanganku kukepal sekuat tenaga namun amarahku terus membuatnya bergetar. Kepalaku tak sekalipun tertunduk bahkan ketika aku sudah mulai berdemo padanya, matanya sudah mulai merah geram menatapku, aku tak sekalipun gentar bahkan ketika tangan besarnya itu jelas mengarah ke pipiku dan aku segera menepisnya karena kutahu aku tidak salah. Keributan jelas tak bisa tertahankan saat itu. Teriakan anak durhaka terus menggema di seisi ruangan,tapi tak kalah, aku jauh lebih ganas meneriakinya dan aku tak akan berhenti hingga gendang telinganya pecah memenuhi ruangan, sementara ibu hanya terus menangis dan tak dapat melerai kami.
            1001 alasan terus dan terus datang menghampiri. Tapi tak satupun yang lolos saring, dan aku tak akan terima apapun, selain kehadirannya tadi. Terus berlangsung dan tak pernah membosankan hingga tangisan histeris ibu mengalahkan suara kami. Aku tersentak, fikirku mulai menjelajah. Aneh. Ibu tak pernah melakukan hal semacam itu. Aku berlari sekuat tenaga menghampiri ibu, aku tak ingin berfikir terlalu banyak dulu namun saat kulihat seluruh badannnya terkulai lemah karena tarikan tali yang mengekang lehernya diruangan yang kini berwarna merah suram kehidupan. Fikirku membeku, hidupku berhenti saat itu juga. Ibu malang, tolong jangan. Tapi terlambat, hembusan nafas terakhirnya tak bisa kugenggam, ia pergi dan saat itu jugalah jiwaku ikut padanya. Tangis tak ada, bahkan aku tertawa lalu mengambil kursi dan pelan pelan menopangnya turun. Kucuran darah mengalir deras. Kuletakkan ibu yang kurasa masih hangat dikasur. Aku m emandanginya, tangisku tak bisa meledak. Namun hatiku yang kini banjir. Aku hanya bisa tertawa meratapi nasib ibu, aku terus berbisik pelan ditelinganya “ ibu tunggu aku, aku segera menyusul, paling lama 5 menit, aku akan mencari cara yang lebih cepat dari ibu”. Kemudian aku berlari mengelilingi ruangan itu namun tak kudapat apa yang kucari, hingga aku ingat bahwa ibu mempunyai kotak P3K pribadi di kamarnya ini. Aku segera kesana mengambilnya, kulihat ada banyak sekali  jenis obat. Aku mengambil segenggam penuh obat berwarna putih dengan ukuran yang sangat besar. Aku menelan ludahku. Aku siap sekarang. Kuayunkan tanganku yang kini menggenggam obat itu ke mulutku yang kubuka lebar agar semuanya mendapatkan tempat. Aku akan segera bertemu ibu, pikiran itu yang terus berkumandang dalam fikirku, yang juga membuatku seberani ini sekarang. Namun sayang tangan yang lebih besar malah menghempas obat itu sangat jauh dariku dan berhamburan ke lain. Tanpa mencoba melihat siapa dia, aku memungut obat itu satu persatu, mencoba mengumpulkannya. Namun kembali kali ini sol sepatu laki laki itu yang malah menghancurkan obat itu satu persatu. Dan sangat kukenali siapa dia, karena tak banyak orang yang hidup disini hanya aku, ibu, dua orang pembantu yang sekarang malah sudah pulang kampung dan satu laki laki patung, dan pasti ia yang melakukan ini. Aku bangkit dan menatapnya penuh amarah dengan senyum tipis dibibirku.
“Kenapa hah?  Biarkan aku pergi bersama ibu, aku tak ingin hidup sia sia.”
“Yah, aku tahu. Silakan. Tapi jangan sekarang aku tak ingin dituduh menjadi seorang pembunuh karena dua orang bodoh di rumah ini, aku tak ingin hidupku hancur. ”
“Apa?  kau bilang ibu bodoh,  kau yang bodoh, gila dan tak berperasaan. Dan yah kehancuranmu itulah inginku, dan aku rela mati untuk itu.”
“Sudahlah, ia yang memilihnya sendiri. Tak akan semudah itu. Dan aku dapat pastikan semua yang kau lakukan akan menjadi sia-sia”
Aku sangat heran terhadap apa yang ia lakukan. Sejahat apapun dia, setidaknya dia harusnya paling  tidak berduka cita atas sang istri yang telah hidup 18 tahun bersamanya, tapi tak nampak sedikit pun. Bahkan berduka cita pun tak akan cukup baginya, karena dia ibu merasakan penderitaan yang luar biasa saat hidupnya hingga hembusan nafas terakhirnya. Tapi dengan santainya ia menghubungi bawahannya yang berjumlah cukup banyak untuk membantu atau lebih tepatnya mengurusi pemakaman ibu. Ia tak melakukan apapun. Bahkan pada saat pengajian untuk ibu, ia tak nampak sedikitpun. Kini hidupku tak pantas lagi disebut hidup. Impianku dan harapanku kini beranjak pergi meninggalkan tempatnya.
Tapi tidak bagi lelaki itu, ia beraktivitas seperti biasanya. Bahkan kini perusahaannya terus berkembang dengan laba yang berlipat. Aku heran, mengapa orang orang dengan pendidikan yang tinggi, mau bekerja sama dengannya. Dengan orang tak punya hati itu.
Hingga suatu saat aku tak tahan lagi, luka yang coba kuobati dalam beberapa bulan ini, tak kunjung sembuh. Dan ide brilliant  mampir diotakku. Kutelepon seorang reporter kenalanku, ia adalah ayah dari teman sekelasku. Dan dengan menyembunyikan identitas, kucoba membuatnya tertarik untuk menjadikanku naarasumber untuk sebuah berita, yang akan sangat menggemparkan, aku menawarkan sebuah berita bahwa seorang istri pengusaha besar yang meninggaal beberapa bulan yang lalu, tidaklah meninggal secara wajar, melainkan dibunuh oleh suaminya sendiri yang psikopat. Yah istri pengusaha yang kumaksud adalah ibuku, dan psikopat itu adalah suaminya. Dan ternyata si reporter setuju. Dan kami bertemu di sebuah taman di sudut kota untuk wawancara dan tentunya identitasku aman.
 Dan keesokan harinya, tak butuh waktu lama, berita itu sudah terpampang jelas dikoran. Aku terus tersenyum sepanjang hari menyambutnya.  Sementara lai-laki itu terus kepusingan dengan dering telepon dari rekan bisnisnya yang terus membanjirinya,  yang kebanyakan untuk memutuskan kerja sama. Dan bisa kukatakan bahwa hari itu adalah hari terbaik untukku. Aku berhasil membangkitkan perhatian orang lain lagi pada kematian ibuku, walau sebenarnya memang ibu tidak dibunuh, tetapi laki laki itu telah membuat hati ibu mati jauh sebelum kematiannya, membuat ibu sangat terpukul hingga akhirnya nekad. Jadi, gantung diri ibu hari itu hanyalah sebagai perwujudan dari kematian hidup ibu yang telah berlangsung lama. Kemudian jelas tak berlebihan untuk menyebutnya sebagai seorang psikopat, bahkan dia lebih kejam dari itu.
Dan sebagai lanjutan dari berita itu. Sebuah surat berhias simbol kepolisian datang ke rumahku. Dan laki-laki itu dipanggil untuk pemeriksaan. Namun sayang kepolisian tidak bisa menemukan makna sebenarnya dari berita dikoran itu, mereka hanya terus menelusuri bukti dan tak bisa melihat makna tersirat dari kata “membunuh”  yang kumaksud. Dan kasus itu ditutup. Dan untungnya laki-laki itu tak menuntut balik.
Kembali hari-hari ku berlangsung tak karuan, aku hidup untuk apa  aku juga tak tahu. Aku bingung mengapa lelaki itu seakan mempunyai jutaan aktivitas yang terus menantinya. Dan tanpa sadar aku mulai aneh karena memperhatikannya.
Hari demi hari aktivitasnya terus bertambah, bahkan 24 jam tak akan cukup baginya. Hingga aku penasaran dengan apa sebenarnya yang membuatnya sekeras itu, tapi segera terjawab itu untuk kesenangannya semata, aku tak pernah tahu mengapa setiap kubuka mataku, rasa kasihan yang kuharap adalah benci malah sering bolos kali ini. Aku pun tak tahu dari mana aku kini banyak tahu tentangnya, padahal sedari kecil aku tak pernah tahu apa apa tentangnya hanya yang nampak dari luar saja bahwa dia lelaki kekar , dengan hidung mancungnya dan bibir tipisnya dan ia adalah suami ibuku, hanya itu. Tapi kini, aku bahkan tahu tentang makanan kesukaannya, ia alergi terhadap apa bahkan kebiasaannya memotong kukunya setiap pagi walau sebenarnya tak pernah cukup panjang untuk dipotong, aku tahu semua itu. Dan hal itu selalu hadir di mimpiku. Entah kenapa? Mungkin ibu yang diam-diam menyusup ke mimpiku untuk menceritakan hal hal tidak penting itu. Aku selalu mencoba menghapus hal hal itu, tapi selalu saja bertambah. Tersiksa. Bagai dipaksa menelan tanpa mengunyah. Aku selalu ingin mencoba mencari tahu tentang hal ini, namun kembali aku berfikir pasti hanya ibu yang sedang sangat merindukan laki laki itu dan mencoba menyuruhku untuk lebih memerhatikannya, tapi tak akan sampai kapan pun.
Minggu pertama, sungguh 7x24 jam yang melelahkan disaat mimpi mimpi itu telah terbang menyeberang ke alam nyata dan menggangguku dan kurasa hanya aku yang kini risau. Dan aku kini layaknya dipingit kenangan dan harapan. Hal hal aneh yang kualami kini sangat kejam dalam romantis. Aku kini berpikir untuk  pergi ke dukun karena kutahu dokter tak akan mampu menjelaskan masalahku ini secara ilmiah. Karena laki laki jahat itu yang pasti melakukan hal ini dengan sangat tidak berpendidikan, kutahu itu.
Matahari pagi yang bergelantungan menyambut rencanaku, kutelusuri lorong-lorong tempat tinggal nenek tuo, nama dari orang pintar itu, dan tentunya aku turut membawa syarat-syarat yang biasa dibawa oleh pegunjung lain, yaitu ayam berumur....,..... kemudian aku membuka pelan pelan pintu yang hanya terbuat dari daun pisang dari sebuah rumah dengan bahan yang sama dengan pintunya. Dan wahh, hidungku langsung bereaksi sangat kuat dengan aroma yang sangat asing bagiku, dan aku sendiri lupa kapan aku mencium aroma itu terakhir kali. Tapi kerisihanku tak lama bersemayam, dengan segera beterbangan menguap ke langit langit rumah itu, karena aku lebih tertarik lagi dengan orang yang duduk santai di pangka rumahnya yang kali ini terbuat dari bambu. Dan dengan pelan aku berkata tabe untuk mengalihkan pandangannya padaku, kugunakan cara yang sopan, karena kutahu aku yang butuh, terlebih nenek ini mengingatkanku pada nenekku, ayah dari ibu yang mengajarkanku berbagai macam hal yang tak kudapat dari laki-laki kejam itu, dialah yang pantas disebut ayah. Begitulah adat disini tak dikenal kata kakek, laki-laki atau perempuan semuanya sama dipanggil nenek.
Dan tak ada tanggapan darinya, bahkan berbalik pun tidak. Aku sedikit ragu dengan tindakanku, tapi kucoba untuk mendekat dan berucap tabe lagi dengan suara yang lebih lantang. Tak ada lagi, dan ku mendekat lagi. Hingga tanpa sadar aku kini sudah tepat berada dihadapan wajahnya yang sebagian tertutupi rambut senja. Aku terkaget-kaget, wajah yang tak sesangar yang kubayangkan malah lembut dan berwibawa nampak jelas. Kemudian ia perlahan-lahan berdiri sebagai respon atas kedatanganku, namun tak sepatah kata pun ia ucapkan. Perlahan lahan ia menuju sebuah tempat beralaskan tikar jerami dan duduk dengan santai disana, aku pun melakukan hal yang sama. karena kutahu semuanya akan dimulai. Dan sebagai tamu yang baik aku menunggu nenek tuo, untuk berbicara terlebih dahulu, namun tak ada. Sudah hampir setengah jam kami hanya duduk berdiam diri, kini kesabaranku sudah sampai kadarnya. Aku yang memulai
“ Nek, ada yang ingin saya konsultasikan?”
Ia diam lagi, dan kulanjut untuk bercerita
“ Nek, sepertinya seorang laki-laki jahat, menggangguku. Ia mencoba merasuki pikiranku dengan memori yang ia inginkan”
Tak lagi. Angin tak kunjung menggema. Tak putus asa
  Lalu nek, apa yang harus saya lakukan?”
Entah apa yang terjadi padanya, hingga ia lebih bisu dari sebisu-bisunya orang bisu. Aku pun menyerah, karena kini semangatku tertutupi mendung keputusasaan. Aku berdiri dan melangkahkan kakiku pelan menuju pintu. Namun sebelum aku betul-betul meninggalkan ruangan itu. Nenek tuo juga ikut meranjak dari tempatnya dan memanggilku dengan lambaian tangan rentanya. Aku sangat bersemangat, kupikir ini pertanda yang baik. Dan perlahan tangannya membuat pola-pola yang sama sekali tak kumengerti, panjang lebar mulutnya mengikuti irama tangannya dan entah. Kembali lagi aku seperti orang terbodoh di dunia ini, dan sudah 15 menit berlangsung seperti itu.
Hingga akhirnya aku mulai berpikir keras, dan kutahu ternyata nenek tuo bisu. Lantas untuk membuktikannya kuambil secarik kertas dan kutulis “ Maaf, nenek bisu?” ia pun mengernyitkan dahi dan mata keriputnya, kutahu ia sedang meraba, dan untuk mempermudahnya. Kutulis jauh lebih besar. Dan akhirnya ia mengangguk mengerti.
Pikirku menjelajah, lantas apa yang selama ini orang percayai dari nenek bisu ini?, dan bagaimana dengan orang-orang itu selama ini?
Nenek tuo pun menjelaskan padaku dengan bahasa tangannya yang kucoba untuk mengerti, tetapi tak semua. Namun kutahu ternyata selama ini dalam benak nenek tuo ia selalu merasa bersalah, ketika orang-orang datang padanya, memberi uang hanya karena anggukan dan sebuah barang tidak penting yang nenek tuo berikan. Ia selalu ingin menjelaskan, namun tak pernah sampai inginnya, orang-orang tak pernah memahaminya. Dan terkadang, ketidakpahaman itulah yang ia syukuri, karena disitulah ia mendapatkan makannya. Aku pulang
Dari luar kupandangi rumah megah yang ada dihadapanku. Aku tidak menyukainya, kuharap hanya ada rumah sederhana yang rukun dengan penghuninya.
Neraka kembali menghampiriku, ia bertanya tak pantas, karena bagiku ia adalah mahkluk astral yang menghantui lebih jahat dari the Flying dutchman. Namun kini, aku yang tersiksa, dan keberanianku muncul ke permukaan. Aku menyemprotnya ludah amarah
“ Hei, apa yang sedang kamu lakukan padaku, apa tidak cukup dengan hanya menggangguku secara langsung, kenapa harus kau racuni jugga pikiranku”
Namun ia terdiam, layaknya nenek tuo.
“ Kau terlalu ingin kuperhatikan? Jangann harap karena kau tak pantas”
Ia meninggalkanku.
Aku tak diam saja, aku bergegas berlari ke kamarku, untuk bertanya pada om dan tante tersayangku, google dan yahoo. Namun setiap kali kutanya tentang masalahku, selalu saja ia menjawab namun tak masuk di akalku. Selalu ia besar-besarkan tentang ....., yang mmerupakan suatu penyakit halusinasi berat. Aku sama sekali tak percaya dan tak akan percaya. Hingga aku sangat lelah dan kini benci pada  om dan tanteku, namun benciku pada lelaki itu jauh lebih membara. Aku ingin tidur, untuk sejenak mendinginkan hatiku.
Lima, enam, tujuh atau delapan bahkn mungkin sepuluh jam aku terlelap tenang. Namun anehnya saat terbanngun aku berada pada dimensi waktu dan tempat yang berbeda. Kini aku ada di kamar setan, tengah malam dan memegang pisau yang bergagang dan bermata merah agak tua dan mengering. Aku lantas kaget, namun ada hal yang lebih aneh lagi. Setan itu tergeletak beberapa meter disampingku, dan kaku. Aku bingung rasa apa yang kini bergejolak dalam hatiku saat itu. Kaget sedikit, sedih tidak ada sama sekali, dan senang mendominasi.
Aku melihat keadaan sekitar, sama sekali tak kuhiraukan setan itu. Hingga bau menyengat mulai merasuki hidungku, dan tentunya hidung para tetanggaku. Yang mulai bergantian mengintip ke dalam. Awalnya aku tak terusik, namun tatapan tajam mereka kepadaku mulai mengganggu. Dan mereka malah makin lancang, memasuki rumahku dengan aparat berpakaian rapi namun tak serapi kerjanya. Dan langsung menggiringku bersama mereka ke hotel prodeo dan membawa setan itu ke rumah sakit, dan kudengar untuk otopsi.
Di hotel itu, mereka menjagaku serius dan menanyaiku lebih serius lagi. Dan kujawab dalam diamku. Hingga membuat mereka geram dan hampir bertindak bodoh. Aku terus berdiam beberapa jam di tempat yang sama, hingga aku merasa haus.
 “ Beri aku  minum, karena kalian aku harus membuang waktu disini hanya untuk pertanyaan dan tuduhan konyol tentang setan itu”  
Aku terdiam beberapa detik
“ Lagipula, apa peduli kalian. Aku saja tak peduli. Lagipula kalian harusnya merasa senang karena telah musnah satu lagi setan di dunia ini”
Mendengar pernyataanku yang tergolong nyeleneh, mereka pun menertawaiku
“ Anak ini saraf kali ya? Ayahnya meninggal, malah senyum-senyum gitu. Malah kita disuruh bahagia”
Aku tak terlalu risau dengan apa yang mereka pikirkan, tak penting. Namun yang penting sekarang bagaimana aku bisa pulang dan tidur, ini betul-betul mengganggu tidurku. Dan tuhan sangat menyayangiku. Aku boleh pulang. Dan hatiku mencoba tenang, namun aku kini penasaran. Apa yang sedang terjadi? Apa aku telah berbuat salah?
Aku pun menelusuri seisi rumahku. Tak ada yang berbeda hanya ruang hembusan terakhir setan itu yang kini dihiasi garis kuning hitam. Aku melangkah masuk. Berlumuran darah yang mengering, dan aku mencoba menelusuri dan mencari hal sekecil apapun. Dan kaki ku terus melangkah sigap. Hingga aku terhenti karena sebuah amplop putih berhias bintik merah yang menghalangiku. Tak penting. Namun derajat penasaranku mengalahkan malas yang luar biasa ini. Kubuka perlahan namun tersegel rapi, kupaksa saja dan....
Text Box: For : My beloved daughter
Kematian ini, sudah kuduga. Akan tiba dan inilah waktunya. Mungkin terdengar lancang untuk sebutan “ My beloved daughter” tetapi itulah yang seharusnya selalu ayah katakan gadis kecilku. Kuingat waktu gadis kecilku ini pertama kali menumpahkan air matanya ke bumi ini. Ayah menangis waktu itu, andai kau lihat. Setelah itu tak ada lagi tangis haru. Bukan karena tak ingin tapi tak bisa. Dan karena itu kau sebut ayah jahat dan pernah ayah dengar kau menyebut ayah setan. Jujur hati ayah sangat sakit. Tetapi ayah tahu hatimu lebih sakit karena sikap ayah. Dari surat ini, ayah ingin ungkap semuanya, semua alasan ayah berbuat tak pantas denganmu. Entah akan menambah rasa sakitmu, rasa bencimu pada ayah. Tetapi ingat satu hal, ini bukan salahmu. Kematian ibu. Kau pasti menyalahkan ayah. Dan kau tidak salah. Karena ayah yang tidak menjaganya dari masalahnya yang mungkin ayah sendiri tak bisa menanggungnya. DID mungkin kamu pernah baca atau dengar itu. Maaf gadis kecilku tetapi kini ayah harus membiarkan kamu berjuang sendiri. Semangat sayang, lawan yah, tidak berbahaya kalau kamu sudah bisa kenal dia. Kita akan berkumpul lagi bersama ibu suatu saat. Tetapi ingat kau harus menyebar 1000 atau lebih kebahagiaan dan senyum yang dulu ayah renggut, karena ayah hanya tidak ingin membuatmu merasa bersalah karena perbuatan-perbuatan yang sebenarnya di luar kendalimu. Jadi, pilihan terbaiknya hanyalah agar kau membenci ayah. Dan ibu sepertinya sudah tidak bisa menahan situasi itu. Berjuanglah gadis kecil ayah yang kini mulai remaja
Salam cinta
Ayah

Apa ini? Aku bingung. Entah

Senin, 28 Maret 2016

Bismillaahirrahmaanirrahim. Coba buat cerpen dengan max katanya 200

Secair bola mataku
Wah dekorasi baru kamarku, dan boneka itu, kau lihat? Itu seperti yang kuinginkan Ternyata mama mendengar pintaku. Tapi, kenapa mama belum datang membawa sarapan kesukaanku, pasti sebentar lagi ya? Tapi, kok tiba-tiba gelap? Pasti lampunya rusak. Kamu perbaiki lampunya. Apa ? enggak tau. Kita gelap-gelapan dong kamu sih enggak berguna.
Sudah sangat lama. Eh sepertinya ada yang datang, itu pasti mama. Ia membelai rambutku, memang mama yang terbaik. Jangan iri! Tapi kok berhenti?
“Mama, masih disini? Ma, tolong perbaiki lampunya!”
             Kenapa tidak dijawab, mama pergi. Pasti urusan mendadak. Tetap gelap. Terus apa ini yang keluar dari mataku? Kamu bilang apa? Bola mataku? Secair ini?  
Eh tunggu dulu, barusan kamu juga bilang semua yang ku ceritakan tentang mama itu khayalanku saja, mimpi begitu? Jangan salah, kita buktikan. Kalau aku mencubit tanganku dan sakit aku benar, begitupun sebaliknya.
 Tapi, kenapa tak sakit? Jadi, aku bermimpi. Sudahlah jangan terlalu berbahagia sebenarnya aku sangat tahu itu. Tapi kenapa kau ingatkan? Aku tak ingin bangun, tak ingin kembali menjadi gadis buta berumur 10 tahun yang hanya selalu berbicara dengan bantal kesayangannya, iya kamu juga bagian dari mimpiku. Sebenarnya aku tidak mempermasalahkan takdir, hanya kusesali saja kehadiranku yang tak pernah diinginkan, itu saja.

Bismillahirrahmaanirrahiim. Cerpen tentang hutan. Enjoy it!



Kayu hitam pekat bergaris luka
“Akan kubunuh orang itu sekarang dan kutanam dalam-dalam”
Bantu aku untuk terus mengingat itu, karena kalimat itu akan terus menjuntai panjang saat harus bertemu dengan pembunuh yang telah membunuh kematian dalam hidupnya yang telah lama mati dalam hidup dan kehidupan orang banyak. Yang telah menggali hidup terdalam hingga terhapus dalam pandangan langit yang kini membiru bahkan menghitam tanpa tangis karenanya.
Selain membantuku mengingat sepenggal kalimat tak berharga itu, maukah kau sejenak mendengarku berkisah tentangnya dalam kisahku yang tak berjudul, tak bermulai dan tak berakhir. Itupun kalau kau tertarik. Jika tidak, aku tak peduli karena aku akan tetap bercerita. Memangnya sepenting apa kau? Kau kan hanya penikmat manja. Jadi akan kuteruskan.
Dia , yah dia. Sangat jelas aku bisa mengingat saat ia tertawa dalam tiupan angin yang perlahan bahkan ketika angin tak lagi bertiup sekalipun pada helaian rambutnya, ia tetap terlihat mengagumkan dan anggun saat berpadu dengan langit dan tanah dekorasi-Nya.
Benar-benar perpaduan yang indah. Bahkan saat melihatnya aku yakin kau tak akan tertarik untuk hal lainnya. Tak seperti boneka-boneka bodoh itu yang terus saja melanglang buana ke negeri seberang untuk menikmati, oh tidak... lebih tepatnya berpamer dan berpura-pura menikmati panorama yang disajikan tuhan disana layaknya menikmati surga dunia walau kutahu sebenarnya mereka tak mengerti itu. Hanya sia-sia tentunya. Dasar. Mungkin mereka sudah terlalu kaya.
Sudahlah tentu tak penting membahas mereka. Karena mereka  sama sekali tak pantas mendapatkan tempat  pada kata demi kata dalam cerita ini walau hanya sebait sekalipun. Untuk apa? Untuk mengotori pikiranmu tentang kebiasaan-kebiasaan aneh keasing-asingan mereka. Yang sama sekali tak berharga untukmu, untukku terlebih lagi untuknya.
Untuk hal yang selalu kucoba dan ia coba pertahankan. Dirinya yang selalu mencoba untuk menempatkan diri hingga setidaknya berharga di mata langit yang menaunginya teduh dan bermakna di relung tanah yang menyatukannya dengan hidupnya. Tapi, menurutku sama sekali tak penting untuknya berusaha. Buat apa lagi? Hanya untukmu tanpa manfaat baginya. Egois memang. Tapi kau harus tahu egois bisa menuntunmu menuju kebahagiaan. Kau setuju? Sudahlah.
Tapi, kau tak perlu terlalu khawatir, bukan hanya kau, teman atau kawanmu yang egois, bukan pula hanya aku atau teman-temanku.  Tapi semua. Sebangsa kita atau senegara kita bahkan sedunia kita pun bukan tuduhan yang berlebihan, karena sangat pantas. Aku akan kembali pada ceritaku untukmu.
Saat itu kami terus menghabiskan waktu yang telah menjadi jatah kami dari tuhan dengan tak satupun sedih yang dapat kau lihat. Bermain kenja, petak umpet atau sekedar menikmati sunrise atau sunset.Mungkin semuanya berawal dari sana. Mungkin juga sebelum atau sesudahahnya. Dan kau tak perlu tahu. Karena kau tidak termasuk bagian dari persahabatan kami. Dan jangan berpikir  karena kau bersedia meluangkan sedikit waktu untuk membaca omong kosongku ini, kau mendapatkan hak atas persahabatan kami. Tentu tidak.
Asal kau tahu aku padanya bagai seorang maniak yang terus saja terhenyak untuk terus mengikutinya dalam kaleidoskop waktu yang menegangkan. Dan melalui pos angin atau message dari akun facebook lucunya ia selalu membisikkan kisah teman-temannya yang selalu bermimpi sama dengannya, menikmati hidup yang bahkan sedikit saja lebih lama.
 Namun mimpi akan hidup yang telah menjadi asa yang terus putus pada orang yang telah memilikinya. Mimpi yang kini telah menjadi cinta yang terlalu dalam dan dipaksakan. Mimpi yang seakan-akan mimpi karena telah lelah dalam ruang penantian. Hingga akhirnya waktu hanya akan melalui mimpi dan hanya meninggalkan kata “berlalu”
Namun berlalu baginya, tak akan betul-betul berlalu hanya karena penanggalan kalendar yang sia-sia. Karena nasib baik terus turut padanya dan terus saja mengagetkanku. Begitupun saat tragedi yang membawa temannya untuk menikmati perjalanan ke puya layaknya ambe,  pada kisah salah satu novel terkenal yang terus kuceritakan untuknya hingga membuatnya fasih menuturkan kata demi kata jauh lebih baik dariku.  Saat tragedi itu ia tak tersentuh malapetaka sedikitpun. Namun membuatku marah mengganti sedih karena ia selalu membayangkan dirinya juga turut terkubur dalam dirinya lagi dan turut menunggu nasib hingga ke “puya” bersama teman-temannya.
“ Tentu akan sangat menyenangkan”  tuturnya pelan namun penuh harap. Apakah aku salah memillih novel itu untuknya? hingga ia terhanyut bahkan lebih dan lebih lagi. Terus kutahan dengan bulir-bulir kehidupan dan bubuk-bubuk hidup ajaib yang selalu kuusahakan untuknya. Dan keselamatan akhirnya miliknya dan beberapa yang lain tanpa bantuanku.
Tak pernah kulihat air matanya setelah itu, begitupun tawa. Tak pernah kulihat tanda kematian yang selalu saja mati dalam tanda-tanda yang tak kunjung bisa kubaca, begitupun tanda kehidupan.
Melalui pos angin dan kembali lagi kucoba melalaui facebook, twitter , path atau instagramnya tapi tak kunjung kutahu kondisinya, karena ia tak peduli mengirim yang lain.
Kemalangan teman-temanya telah melukainya dalam bahkan sangat dalam. Hingga aku sendiri tak tahu seberapa dalam itu. Hanya wajah yang selalu terpaut lebih tua sekarang. Andai aku tahu cara menenangkan siksa batinnya walau hanya sedetik, memandang keindahan senyumnya yang tipis namun menyimpan sejuta bahagia yang seakan tak pernah berujung.
Aku tak ingin lagi bertemu dengannya saat ini, hingga luka itu tidak terlalu besar lagi baginya. Hanya akan kubacakan puisi-puisi batin yang akan terdengar sempurna pada batinku dan batinnya yang mungkin sekarang masih terhubung atau juga tidak. Karena ia sudah terlalu benci melihat visualku maka audio pun tak apa. Aku tak ingin menghancurkan asa hidup saudaraku ini. Asa yang telah ia tumbuhkan jauh sebelum aku mengenal dunia. Asa yang telah membuatku tidur tak nyenyak dalam bayang-bayang tiap malam namun menyulut semangatku ketika matahari terbit hingga  menjelang senja datang.
Tawa yang berbinar layaknya para anak pesisir pantai saat bermain di pegunungan atau tawa yang selalu saja turut menghadirkan  tawa pula dari anak kaki atau puncak gunung saat mereka bermain dengan deru ombak yang menderu tanpa kenal lelah. Kini suram oleh pelangi mendung yanng muncul setiap kali membayangkan ia kini. Mungkinkah sebenarnya ini adalah tanda tragedi selanjutnya yang kau kirim tuhan saat itu?
Tapi aku sudah terlanjur terlalu rindu pada aroma semangat yang tumbuh menjamur dalam dirinya. Aku sangat menyayanginya dan mimpi-mimpinya. Andai semangat bisa dibagi layaknya foto atau artikel pada sosial media yang terkenal itu. Akan kubagi sedikit yang kupunya.
Aku tak tahu sejak kapan perasaan itu muncul padanya dan padaku. Namun tentu perasaan itu muncul sebelum aku mengenal sedih, benci ataupun dendam. Yang selalu saja muncul pada tiap-tiap dongeng yang diceritakan mamak padaku menjelang tengah malam. Entah darimana ia mendapatkan kisah bohong itu setiap harinya. Tapi, sangat menyenangkan larut dalam kebodohan itu.
Aku adalah penikmat kebohongan. Lembut bagai selimut namun akan berbalik menjadi sangat tajam layaknya pisau ketika terungkap dihadapan orang-orang yang membenci kebohongan. Sangat nikmat terdengarnya dan kau dasar munafik. Bagaimana kau membenci kebohongan yang sebenarnya tak bersalah? Asal kau tahu saja kebohongan itu tak bisa apa-apa tanpa kau yang menggerakkannya dan akhirnya malah menjatuhkanmu. Kasian kau.
Kebohongan memang mampu membunuh. Tapi, asal kau tahu lagi banyak orang yang menyambung hidup hanya dengan suatu kebohongan. Sebut saja koruptor, hakim tersuap, penjual bakso boraks ataupun mungkin juga kau pernah terselamatkan karena sebuah kebohongan.
Memangnya mereka hobi dengan itu? Hobi yang baik memang. Haruskah kupelajari? Ahh...tidaklah aku bahkan sudah sangat hapal detailnya.  
Aku akui aku pun pernah larut ke dalamnya karena aku tak sesuci malaikat. Saat itu aku berada diambang keputusasaan pada saat harus menghadapi ulangan layaknya siswa-siswa yang lain. Jangan bilang kau baru tahu aku adalah seorang siswa. Kau pembaca yang keterlaluan. Tapi sudahlah setidaknya kau cukup baik hingga mampu sampai ke tahap ini.
Saat ulangan entah kenapa guruku yang satu ini tidak pernah lepas dari kebiasaannya untuk memberi soal yang tidak tanggung-tanggung membawa para siswanya ke ambang batas keputusasaan ditambah lagi satu kebiasaannya yang betul-betul dapat membunuh semua murid. Bagaimanapun cerdas atau rajinnya kau. Aku yakin dalam 3 kali pertemuan saja atau setidaknya 2 kali ulangan harian kau akan menyerah saat itu juga. Tapi, harus melanjutkan dalam keadaan terpaksa. Kau pasti akan mengasihani dirimu mulai saat itu, karena harus bertemu dengan mahkluk seperti dia.
Mungkin terdengar sangat tidak sopan untuk membicarakan guru seperti itu yang harusnya kita sanjung dan memang pantas. Tapi, hanya untukmu aku berani bicara seperti ini, dan ingat ini hanya sekedar berbagi pengalaman saja. Jangan kau tiru aku. Itupun kalau kau masih bisa meniru.
Sudahlah jangan membicarakan tentang guruku itu terlalu banyak. Karena aku akan kembali ke hari itu. Hari dimana menurutku hari kiamat dalam penddikan. Otak pas-pasan, persiapan jauh lebih pas-pasan belum lagi teror sanksi bila menjadi salah satu bagian dari ASRI( Asosiasi Siswa Remedial Indonesia) keren bukan? Istilah yangg sangat populer di sekolahku. Tapi, sayangnya nasib para anggotanya tidak sekeren namanya. Tekanan datang dari mana-mana. Teman, guru, kakak kelas, rasa malu yang harus ditanggung dan belum lagi tekanan batin yang sangat luar biasa membinasakan.
Itulah sebabnya ASRI betul-betul menjadi mimpi buruk seburuk-buruknya yang sampai beberapa minggu setelah itupun aku yakin tak akan hilang. Mungkin akan pudar. Tapi terlalu sedikit dari waktu ke waktunya.
Dan tentu sekarang kau bisa tebak alasanku menggunakan kekuatan kebohongan yang sangat ajaib itu. Saat ulangan itu jalan satu-satunya yang masih terbuka diantara jalan-jalan buntu yang telah lama pekat akan takdir yang siap menanti adalah mencontek jalan yang sangat populer dan tentunya kau juga kenal kan? itu kan trik sejuta umat.
Dan seperti perasaan-perasaan para ‘kriminal’ lain. Rasa getar memang cukup terasa hingga membuatku sedikit ragu tapi tak cukup untuk menyingkirkan kesempatan yang sangat berharga itu. Lagipula kulihat ke samping kanan, kiri, kanannya kiri dan kirinya kanan atau depan bahkan belakang pun sama. Kami berada di satu jalan yang sama, jalan neraka.
Neraka yang berasa surga dunia saat itu. Dan tentu semuanya berjalan lancar bahkan sangat lancar. Menjadi yang pertama selesai sungguh rekor baru. Dan disusul teman-temanku yang lain tak lama setelah itu. Sungguh kesuksesan bersama yang luar biasa.
Namun kami luput dari topik ‘naluri’ seorang guru yang sangat terkenal. Seakan mempunyai sebuah antena dengan sinyal terbaik ia mampu mencium aroma bangkai yang dengan parfum kata manis selalu kami coba untuk tutupi. Dengan suara lantangnya ia berkata atau lebih tepatnya sedikit berteriak mengisi kekosongan ruang kelas saat itu yang mulai terasa dingin bukan karena AC pada sekolah-sekolah mewah atau kipas angin yang lebih sederhana. Tapi, keringat dingin yang siap bercucuran kapan saja dari para penghuni ruangan itu.
“ Sangat menakjubkan. Kalian mempunyai kemajuan yang luar biasa. Saya sangat senang memiliki siswa-siswa seperti kalian pintar, rajin dan mampu menngerjakan ulangan dengan baik dan tentunya dengan jalan baik. Tanpa mencontek ataupun melihat catatan. Iya kan?”
Bagai sambaran petir betul-betul sangat menyengat hingga akhir. Keringat dingin semakin banyak layaknya wabah yang terus berkembang tak pandang tempat, waktu ataupun yang lainnya. Kalau saja ada cara  untuk menghilang dari tempat dan situasi itu aku siap membayar berapapun. Kamu tak akan bisa membayangkan betapa mencekamnya. Dan dengan sisa keberanian yang masih ada. Kami secara serentak namun tentu bisa kau tebak tetap parau
“ Tentu bu.”
Guru itu betul-betul berusaha menyentuh kami ke bagian yang terdalam. Tapi apa boleh buat semuanya telah terjadi. Dan yang terpenting setelah itu adalah tetap berusaha membuat kebohongan itu tetap hidup dan menyambung nyawa-nyawa kami.
Dari kisah itu kau bisa menyimpulkan sendiri. Kaulah yang akan menentukan peran yang akan kau berikan pada kebohongan dalam drama hidupmu.
Tapi, sebaiknya pilihlah menjadi seorang pembohong lebih menguntungkan dan selamat. Kau tahu kan saudaraku itu yang terlalu jujur akan hidup atau mungkin seseorang yang bahkan tak kukenali sejak dulu hingga detik inilah yang terlalu sukses pada kebohongannya hingga ia terlalu polos dan tertipu daya. Memang tak pernah kuajari ia ilmu ‘tolak tipu daya’ untuk setidaknya berhasil lolos dari pengibul seperti orang itu. Pengibul yang berhasil menenggelamkannya dalam tragedi yang akhirnya tak mampu meloloskannya.
Aku sudah trelalu lama membiarkannya hidup dalam imajinasinya bahwa semua orang di dunia ini memiliki sisi-sisi baiknya hanya saja perlu dibangkitkan atau mungkin dipancing untuk keluar. Pasti ia mendapat semua itu dari drama-drama korea yang dengan setia ia nonton. Aku terlalu membiarkannya melayang pada imajinasinya dari buku-buku fiksi koleksiku yang kini telah menjadi koleksinya.
Tentu aku ingin sekali menyalahkan orang itu atas semua yang telah terjadi. Tapi kepada siapapun aku tak tahu. Kenapa ia tega? Kenapa harus saudaraku? Dan kenapa sekarang saat saudaraku masih ingin luwes menghirup oksigen?
Tak berguna karena aku juga ta tahu siapa dia. Tapi aku berjanji 5 menit saja tuhan membiarkanku bertatap muka dengannya maka tak akan kusia-siakan. Akan kubawa kepalanya, badannya atau kakinya secara terpisah padamu saudaraku.
Memang tak akan merubah banyak dan hanya akan terlihat seperti tindakan bodoh. Tapi, akan sedikit membantuku untuk menebus rasa bersalah pada kenangan yang terus saja mengusikku dalam tidur pada malamku dan istirahat saat siangku.
Kenangan yang selalu saja membara tanpa  jelas dari siapa, untuk siapa atau bahkan mereka siapa. Kenangan yang tidak akan pernah jelas namun sangat menyayat hati pada tiap adegan-adegan kenangan itu.
Walau hanya terdengar suara aku cukup bisa memahami betapa pentingnya momen itu dan betapa berharganya saudaraku itu dalam momen tak berjelas itu. Semuanya tak jelas bahkan lebih muram dan muram lagi tiap momennya.
Hanya suara wanita yang kuperkirakan berusia 45 tahun yang sangat  tak jelas dan terdengar lebih parau dari suaraku saat tenggelam dan bersenang-senang dalam kebohongan. Malah gemuruh yang sangat mencekam jauh lebih dominan. Seakan penghancuran besar-besaran telah terjadi. Atau apakah aku yang terlalu sering menonton film dokumenter peperangan yang sangat kukagumi dan terbawa hingga ke alam bawah sadar serupa dengan kasus-kasus lainnya. Lumrah.
Jadi, bagaimana menurutmu? Tak usah kau jawab! Jawabanmu tidak juga terlalu penting. Kenapa? Kau marah karena aku tak mendengarmu? Sudahlah jangan berpikir bahwa kau sudah dekat dan cukup memahamiku karena bagiku kau itu ibaratkan seseorang yang sedang linglung dan berkeliling kompleks dan kebetulan aku sedang membutuhkanmu untuk sedikit mendengarku, sebatas itu.
Dan satu hal lagi, kau memang tak pantas berkomentar apapun. Bukannya aku mencabut hak asasi atau apapun milikmu itu. Tapi apa yang dapat kau komentari? Tentang saudaraku? Kau bahkan tak mengenalnya. Bagaimana kau akan berbicara banyak? Dengan berbohong, sudahlah itu permainan lama, jadul. Atau kau mau mencoba mengarang opini dengan karakter ciptaanmu sendiri. Kau terlalu kreatif berarti dan aku tidak perlu orang sepertimu.
Buat apa orang kreatif yang ujung-ujungnya belok sedikit saja dan aku tidak akan bisa membedakan antara kekreatifan dan kebohongan. Lihatlah kau bisa lihat sendiri dari tadi kita berbicara pasti kita akan kembali berujung pada sesuatu yang disebut keebohongan itu. Itulah sebabnya kejeliaan akan terus kucoba pertahankan apalagi pada orang baru sepertimu. Kau tahu kenapa? Karena orang baru yang terlalu banyak dipercayai malah akan berujung pada pengkhianatan dan kau tahu rasanya? Sekali lagi akan menyakitkan.
Aku sangat mengenal bahkan lebih dari kenal, aku memahami arti rasa sakit itu dan kehidupanlah yang akhirnya membuatku paham akan itu. Yang membuatku akhirnya tidak terlalu lemah pada hidup yang jika terus kubiarkan akan berbalik. Hiduplah yang akan mengasihaniku.
Mungkin inilah yang terjadi pada saudaraku dan teman-temannya. Mereka terlalu lemah pada hidup mereka dan betul saja hari ini saat aku bercerita ia sudah tak ada karena kelemahannya. Ia terlalu percaya pada hidup yang akan berujung bahagia layaknya dongeng-dongeng kebanyakan. Ia tak mampu membedakan antara realita dan ekspektasi. Padahal hanya benang merah tipis yang menghubungkan mereka, kekecewaan. Selebihnya kau bisa.
Sayangnya saudaraku ini hanya fokus pada benang merah tipis itu. Yang juga akhirnya membawanya pada kemerah-merahan hidup yang terhubung langsung dengan gerbang kematian. Dan ketika kekecewaan telah muncul akan menjalar lebih cepat dari orang disekitarmu yang mengerti daripada kau sendiri.
Sama halnya dengan aku saat itu. Masih sangat lekat dalam ingatanku saat dengan riangnya aku datang berkunjung ke rumah saudaraku. Memang ia sangat mandiri dan kutahu sejak umur 5 tahun ia sudah berpisah hidup dari  kami dan berbaur dengan teman-temannya dalam kesejukan itu setelahnya.
Tak ada firasat apapun yang terlintas di benak atau fikiranku. Hanya dingin yang terus saja mencengkramku saat itu karena memang dingin-dinginnya musim dingin terus saja dibicarakan di semua stasiun televisi dan menjadi headline terpanas dalam dingin di berbagai koran ataupun majalah. Dan hal itu jugalah yang membawaku datang kesana dengan sehelai selimt lembut tebal, sup panas dan segala perlengakapan musim dingin turut denganku siap menyambut.
Tapi, pada saat itu seakan badai dan hujaman petir silih berganti merobek-robek batinku. Semuanya berantakan. Disebelah kananku dapat kulihat kekokohan telah hancur, harapan besar pun hancur bersamanya. Kemudian kugiring pandanganku di sebelah kananku lagi dan betul-betul menyesakkan. Ketulusan dari mereka yang bahkan belum terlalu lama menghirup karbon menyumbang oksigen punah tanpa bekas. Saat itu kuharap semuanya berakhir disana ku tak ingin melihat yang lebih lagi. Namun tentu seseorang itu tak mau membuang kesempatan hanya menghabisi sebagian. Semuanya hancur berantakan.
Nyawa-nyawa yang baru kemarin kulihat tumbuh subur kini melayang berlomba untuk mencapai angkasa. Entah apa yang mereka rasakan dan entah apa yang aku rasakan. Tak ada perasaan yang bercampur karena semuanya melebur jadi satu, kebencian.
Kebencian yang akan mewakili sakit tiap nyawa yang kesakitan hari itu, termasuk saudaraku. Lemas tak  berdaya hingga nafas terakhhirnya sekalipun tak dapat pernah kugenggam. Rambut hijaunya kering menjadi coklat dan telah hilang asa. Penopang tubuhnya telah habis dimakan si merah hingga meninggalkan sahabatnya si hitam yang senantiasa bergaris pada tubuh saudaraku.
Ada sesak yang terus saja ingin keluar dari batin, raga, bahkan hati terkecilku saat itu. Aku betul-betul telah ciut dan seakan kehilangan sesuatu yang orang lain sebut dengan keberanian. Tanganku tak lagi bisa mengepal, kakiku tak bisa berhenti gemetar bahkan bibirku tak ingin berhenti bergumam dalam sunyi yang aku sendiri tak mengerti.
Orang itu aku yakin pasti orang yang sama yang juga telah membakar hatiku 12 tahun yang lalu. Yang membuatku tak berdaya dalam gendongan ibu saat fajar saja belum menampakkan diri. Yang membuatku dan mamak sesak nafas berhari-hari sekaligus sesak hati karena  telah membakar adikku hidup-hidup dalam rumah sederhana kami. Yah...aku tahu pasti dia yang telah membakar hutan ini sebelumnya dan perkiraanku tak akan meleset.
Kejadian kali ini betul-betul telah memutar kembali memoriku hingga 12 tahun yang lalu. Saat tak henti-hentinya aku menangis kehilangan sekaligus tangis untuk menyalahkan diriku yang masih hidup saat seharusnya aku turut saja terbakar bersama adikku yang saat itu bersekolah dasar pun belum. Saat itu terus saja terngiang-ngiang wajah adikku yang menangis kepanasan dalam gubuk tua kami.
Tak hanya diriku saja yang terus kupersalahkan tapi juga mamak yang tega-teganya memilih menyelamatkanku dibanding adikku yang harusnya bernafas lebih lama lagi. Tak pernah ada jawaban dari mamak tentang hal ini. Entah ia memang tak punya alasan atau alasan yang terlalu naif untuk diutarakan.
Hingga ajal datang dan siap menyambutnya barulah beberapa kalimat keluar dari mulutnya yang mulai kaku dan akhirnya kutahu ternyata itulah jawaban yang selama ini kunanti hingga 5 tahun lamanya.
“ Aku sangat ingin menyelamatkan kalian berdua tapi kau tahu kan mamak sendiri dan mamak tak bisa apalagi hari itu kobaran api sudah sangat ganas. Jadi mamak harus memilih dan akhirnya memutuskan untuk menyelamatkanmu lebih dulu dan menyelamatkan adikmu setelahnya. Namun kau tahu mamak terlambat dan itulah yang akan menjadi penyesalan mamak bahkan hingga hari ini.”
Saat kudengar itu, hatiku tak dapat langsung menerimanya. Keterlambatan adalah alasan yang tak pernah ingin  kudengar. Lalu ibu melanjutkan.
“ Kau tahu kenapa mamak menyelamatkanmu lebih dulu? Karena mamak yakin tak lama lagi ajal akan datang menjeemput setelah tragedi itu dan adikmu juga masih sangat muda saat itu. Dan yang harus kau tahu keselamatan hutan ini yang telah berbaik hati memberi kita tempat tinggal sejak dulu juga menjadi bahan pertimbangan mamak. Karena mamak tahu kau pasti akan menjaga hutan ini hingga kejadian 5 tahun yang lalu tak akan terjadi lagi”
Itulah kalimat terakhirnya yang sekaligus menjadi kalimat penyerahan tanggung jawab yang menyesakkan. Hingga pembelaan itu selesai entah kenapa gejolak rasa bersalah dalam hatiku tak kunjung hilang bahkan saat hembusan nafas terakhir mamak yang berhembus memburu disamping gendang telingaku menyergap dan mendorongku untuk ikhlas tapi sia-sia saja.
Tapi hari ini orang jahat itu betul-betul membuatku geram ia tak hanya menghancurkan hutan ini ia telah menghancurkan aku, kepercayaan mamakku dan pngorbanan adikku. Pengorbanan yang menggiringku untuk semakin dan semakin sayang lagi padanya walau tak dapat kugenggam namun setidaknya menyayangi apa yang ia sayangi sedikit mengobati dan mengisi kekosongan ruang yang telah lama ditinggalkan. Namun hari ini tanpa belas kasih ia membumihanguskan hutan ini dan harapanku. Menghabiskan saudaraku yang kini hanya tinggal kayu hitam pekat bergaris luka bersama tangis langit yang menemaninya dalam sepi.
Haruskah kususul kalian?