Aku,
neraka dan surga ayah
Megah bagai neraka. Ingin terus diteriakkan batin
yang kini haus akan hidup dan damai, tak kunjung datang hingga akhirnya ia akan
menyerah dan berhenti menyapa hidup.
Di kota inilah aku pertama kali memulai nafas
kehidupan dan membalas dengan karbon. Dan aku tak sendiri. Ada banyak
masyarakat lain yang turut berbagi oksigen denganku, bahkan terlalu banyak
hingga memuakkan. Mulut ku saja kini sudah mengganti peran hidung menghirup
oksigen dengan omelan kasar yang kadang tak pantas. Dan tak akan pernah
kusalahkan diriku, karena hidup disini bukan pilihanku. Hidup diantara orang
orang individualis ini bahkan sangat tak ingin aku. Mereka yang salah. Mengapa
memilih hidup ditempat yang sama denganku? Disuatu tempat sesempit ini, andai
kutahu ketika hirupan nafas pertamaku, mungkin akan kupilih berlindung kembali
dirahim ibu. Dan dia tak akan menolak menyisihkan sebuah tempat kecil dalam
tubuhnya untukku. Tapi kini tak akan bisa lagi, kini ia bahkan sudah terlalu
tua hanya untuk sedikit goresan dikulitnya. Namun kasihnya tak kan rontok oleh
waktu yang egois berlari meninggalkan kenangan. Kasih yang selalu membuat
seluruh manusia di jagat raya ini yang terlahir sebagai seorang anak, tidak
akan mampu menolak diri untuk memanggil ibu dalam keadaan sadar atau tak sadar.
Aku sama, bahkan jika aku berdoa tak ada yang lain yang ingin kuminta, aku
hanya berharap didunia ini hanya hidup anak dan para ibunya. Tak ada yang lain,
bahkan tak akan pernah ada. Namun tuhan tak ingin doaku, ia menghadirkan yang
lain. Yang berbeda denganku dan ibu. Dan terlihat jauh lebih kuat fisiknya dari
ku dan ibu. Yang kata orang disebut dengan ayah.
Ayah. Tak ada yang istimewa dari sosoknya di hidupku
atau mungkin juga dihidup semua anak di planet ini. Bahkan nyaris tak kuutahu
apa sebenarnya peran seorang ayah. Jika hanya memenuhi materi, aku dan ibu
jelas juga bisa. Itulah kenapa aku ingin menyingkirkannya dari hidupku. Dan
pernah terfikir mungkin dengan mengirimnya ke planet mars akan sangat membantu.
Itulah mengapa aku sangat ingin menjadi astronomi secepat mungkin untuk meneliti
kehidupan disana, jika astronomi sekarang tak sanggup. Maka aku yang akan
terjun langsung. Tapi tak kunjung datang waktu itu, hingga aku mulai muak.
Setiap hari harus melihatnya menyambut pagi dengan setelan jas rapi yang
menjijikkan. Dan menyambut senja dengan pakaian yang sama. Bagai patung tak
punya hati yang terus berjalan disekitar rumah. Tak pernah menegur adalah
kebiasaannya. Atau mugkin tak pernah mengerti akan bahasa yang kami gunakan. Ia
sungguh membosankan.
Tapi pada satu hari penting di keluarga kami, ia
betul betul ingin membuatku meledak. Dia tak kunjung datang seluruh tamu telah siap menyambut
kebahagiaan keluarga kami. Kulihat wajah ibuku saat itu memerah entah karena
marah atau malu. Beban berat seakan menumpuk digaris wajahnya. Namun tak akan
bisa terlampiaskan tentunya, aku yakin. Karena ia sangat sayang pada laki laki
robot itu. Entah apa yang telah ia dapat
atau apa yang ia nantikan dari orang seperti itu. Aku selalu mencoba
menenangkan ibu walau kuyakin ia tak butuh itu, karena ia wonder woman ku. Tapi
tak akan bisa kuterima perbuatan lelaki jahat itu, karena aku tak sesabar ibu.
Sudah kusiapkan senjataku, aku kini telah siap berperang dengan penjajah
dirumah ini.
Dan ia datang, terlihat sangat lesuh. Kutahu itu
pura-pura. Kuhampiri dia dengan tekad dan amarahku yang betul betul telah
menggebu. Tanganku kukepal sekuat tenaga namun amarahku terus membuatnya
bergetar. Kepalaku tak sekalipun tertunduk bahkan ketika aku sudah mulai
berdemo padanya, matanya sudah mulai merah geram menatapku, aku tak sekalipun
gentar bahkan ketika tangan besarnya itu jelas mengarah ke pipiku dan aku
segera menepisnya karena kutahu aku tidak salah. Keributan jelas tak bisa
tertahankan saat itu. Teriakan anak durhaka terus menggema di seisi
ruangan,tapi tak kalah, aku jauh lebih ganas meneriakinya dan aku tak akan
berhenti hingga gendang telinganya pecah memenuhi ruangan, sementara ibu hanya
terus menangis dan tak dapat melerai kami.
1001
alasan terus dan terus datang menghampiri. Tapi tak satupun yang lolos saring,
dan aku tak akan terima apapun, selain kehadirannya tadi. Terus berlangsung dan
tak pernah membosankan hingga tangisan histeris ibu mengalahkan suara kami. Aku
tersentak, fikirku mulai menjelajah. Aneh. Ibu tak pernah melakukan hal semacam
itu. Aku berlari sekuat tenaga menghampiri ibu, aku tak ingin berfikir terlalu
banyak dulu namun saat kulihat seluruh badannnya terkulai lemah karena tarikan
tali yang mengekang lehernya diruangan yang kini berwarna merah suram
kehidupan. Fikirku membeku, hidupku berhenti saat itu juga. Ibu malang, tolong
jangan. Tapi terlambat, hembusan nafas terakhirnya tak bisa kugenggam, ia pergi
dan saat itu jugalah jiwaku ikut padanya. Tangis tak ada, bahkan aku tertawa
lalu mengambil kursi dan pelan pelan menopangnya turun. Kucuran darah mengalir
deras. Kuletakkan ibu yang kurasa masih hangat dikasur. Aku m emandanginya,
tangisku tak bisa meledak. Namun hatiku yang kini banjir. Aku hanya bisa
tertawa meratapi nasib ibu, aku terus berbisik pelan ditelinganya “ ibu tunggu
aku, aku segera menyusul, paling lama 5 menit, aku akan mencari cara yang lebih
cepat dari ibu”. Kemudian aku berlari mengelilingi ruangan itu namun tak
kudapat apa yang kucari, hingga aku ingat bahwa ibu mempunyai kotak P3K pribadi
di kamarnya ini. Aku segera kesana mengambilnya, kulihat ada banyak sekali jenis obat. Aku mengambil segenggam penuh
obat berwarna putih dengan ukuran yang sangat besar. Aku menelan ludahku. Aku
siap sekarang. Kuayunkan tanganku yang kini menggenggam obat itu ke mulutku
yang kubuka lebar agar semuanya mendapatkan tempat. Aku akan segera bertemu
ibu, pikiran itu yang terus berkumandang dalam fikirku, yang juga membuatku
seberani ini sekarang. Namun sayang tangan yang lebih besar malah menghempas
obat itu sangat jauh dariku dan berhamburan ke lain. Tanpa mencoba melihat
siapa dia, aku memungut obat itu satu persatu, mencoba mengumpulkannya. Namun
kembali kali ini sol sepatu laki laki itu yang malah menghancurkan obat itu
satu persatu. Dan sangat kukenali siapa dia, karena tak banyak orang yang hidup
disini hanya aku, ibu, dua orang pembantu yang sekarang malah sudah pulang
kampung dan satu laki laki patung, dan pasti ia yang melakukan ini. Aku bangkit
dan menatapnya penuh amarah dengan senyum tipis dibibirku.
“Kenapa
hah? Biarkan aku pergi bersama ibu, aku
tak ingin hidup sia sia.”
“Yah,
aku tahu. Silakan. Tapi jangan sekarang aku tak ingin dituduh menjadi seorang
pembunuh karena dua orang bodoh di rumah ini, aku tak ingin hidupku hancur. ”
“Apa? kau bilang ibu bodoh, kau yang bodoh, gila dan tak berperasaan. Dan
yah kehancuranmu itulah inginku, dan aku rela mati untuk itu.”
“Sudahlah,
ia yang memilihnya sendiri. Tak akan semudah itu. Dan aku dapat pastikan semua
yang kau lakukan akan menjadi sia-sia”
Aku sangat heran terhadap apa yang ia lakukan.
Sejahat apapun dia, setidaknya dia harusnya paling tidak berduka cita atas sang istri yang telah
hidup 18 tahun bersamanya, tapi tak nampak sedikit pun. Bahkan berduka cita pun
tak akan cukup baginya, karena dia ibu merasakan penderitaan yang luar biasa
saat hidupnya hingga hembusan nafas terakhirnya. Tapi dengan santainya ia
menghubungi bawahannya yang berjumlah cukup banyak untuk membantu atau lebih
tepatnya mengurusi pemakaman ibu. Ia tak melakukan apapun. Bahkan pada saat
pengajian untuk ibu, ia tak nampak sedikitpun. Kini hidupku tak pantas lagi
disebut hidup. Impianku dan harapanku kini beranjak pergi meninggalkan
tempatnya.
Tapi tidak bagi lelaki itu, ia beraktivitas seperti
biasanya. Bahkan kini perusahaannya terus berkembang dengan laba yang berlipat.
Aku heran, mengapa orang orang dengan pendidikan yang tinggi, mau bekerja sama
dengannya. Dengan orang tak punya hati itu.
Hingga suatu saat aku tak tahan lagi, luka yang coba
kuobati dalam beberapa bulan ini, tak kunjung sembuh. Dan ide brilliant mampir diotakku. Kutelepon seorang reporter
kenalanku, ia adalah ayah dari teman sekelasku. Dan dengan menyembunyikan
identitas, kucoba membuatnya tertarik untuk menjadikanku naarasumber untuk
sebuah berita, yang akan sangat menggemparkan, aku menawarkan sebuah berita
bahwa seorang istri pengusaha besar yang meninggaal beberapa bulan yang lalu,
tidaklah meninggal secara wajar, melainkan dibunuh oleh suaminya sendiri yang
psikopat. Yah istri pengusaha yang kumaksud adalah ibuku, dan psikopat itu
adalah suaminya. Dan ternyata si reporter setuju. Dan kami bertemu di sebuah
taman di sudut kota untuk wawancara dan tentunya identitasku aman.
Dan keesokan
harinya, tak butuh waktu lama, berita itu sudah terpampang jelas dikoran. Aku
terus tersenyum sepanjang hari menyambutnya.
Sementara lai-laki itu terus kepusingan dengan dering telepon dari rekan
bisnisnya yang terus membanjirinya, yang
kebanyakan untuk memutuskan kerja sama. Dan bisa kukatakan bahwa hari itu
adalah hari terbaik untukku. Aku berhasil membangkitkan perhatian orang lain
lagi pada kematian ibuku, walau sebenarnya memang ibu tidak dibunuh, tetapi
laki laki itu telah membuat hati ibu mati jauh sebelum kematiannya, membuat ibu
sangat terpukul hingga akhirnya nekad. Jadi, gantung diri ibu hari itu hanyalah
sebagai perwujudan dari kematian hidup ibu yang telah berlangsung lama.
Kemudian jelas tak berlebihan untuk menyebutnya sebagai seorang psikopat,
bahkan dia lebih kejam dari itu.
Dan sebagai lanjutan dari berita itu. Sebuah surat
berhias simbol kepolisian datang ke rumahku. Dan laki-laki itu dipanggil untuk
pemeriksaan. Namun sayang kepolisian tidak bisa menemukan makna sebenarnya dari
berita dikoran itu, mereka hanya terus menelusuri bukti dan tak bisa melihat
makna tersirat dari kata “membunuh” yang
kumaksud. Dan kasus itu ditutup. Dan untungnya laki-laki itu tak menuntut
balik.
Kembali hari-hari ku berlangsung tak karuan, aku
hidup untuk apa aku juga tak tahu. Aku
bingung mengapa lelaki itu seakan mempunyai jutaan aktivitas yang terus
menantinya. Dan tanpa sadar aku mulai aneh karena memperhatikannya.
Hari demi hari aktivitasnya terus bertambah, bahkan
24 jam tak akan cukup baginya. Hingga aku penasaran dengan apa sebenarnya yang
membuatnya sekeras itu, tapi segera terjawab itu untuk kesenangannya semata,
aku tak pernah tahu mengapa setiap kubuka mataku, rasa kasihan yang kuharap
adalah benci malah sering bolos kali ini. Aku pun tak tahu dari mana aku kini
banyak tahu tentangnya, padahal sedari kecil aku tak pernah tahu apa apa
tentangnya hanya yang nampak dari luar saja bahwa dia lelaki kekar , dengan
hidung mancungnya dan bibir tipisnya dan ia adalah suami ibuku, hanya itu. Tapi
kini, aku bahkan tahu tentang makanan kesukaannya, ia alergi terhadap apa
bahkan kebiasaannya memotong kukunya setiap pagi walau sebenarnya tak pernah
cukup panjang untuk dipotong, aku tahu semua itu. Dan hal itu selalu hadir di
mimpiku. Entah kenapa? Mungkin ibu yang diam-diam menyusup ke mimpiku untuk
menceritakan hal hal tidak penting itu. Aku selalu mencoba menghapus hal hal
itu, tapi selalu saja bertambah. Tersiksa. Bagai dipaksa menelan tanpa
mengunyah. Aku selalu ingin mencoba mencari tahu tentang hal ini, namun kembali
aku berfikir pasti hanya ibu yang sedang sangat merindukan laki laki itu dan
mencoba menyuruhku untuk lebih memerhatikannya, tapi tak akan sampai kapan pun.
Minggu pertama, sungguh 7x24 jam yang melelahkan
disaat mimpi mimpi itu telah terbang menyeberang ke alam nyata dan menggangguku
dan kurasa hanya aku yang kini risau. Dan aku kini layaknya dipingit kenangan
dan harapan. Hal hal aneh yang kualami kini sangat kejam dalam romantis. Aku
kini berpikir untuk pergi ke dukun
karena kutahu dokter tak akan mampu menjelaskan masalahku ini secara ilmiah.
Karena laki laki jahat itu yang pasti melakukan hal ini dengan sangat tidak
berpendidikan, kutahu itu.
Matahari pagi yang bergelantungan menyambut
rencanaku, kutelusuri lorong-lorong tempat tinggal nenek tuo, nama dari orang
pintar itu, dan tentunya aku turut membawa syarat-syarat yang biasa dibawa oleh
pegunjung lain, yaitu ayam berumur....,..... kemudian aku membuka pelan pelan
pintu yang hanya terbuat dari daun pisang dari sebuah rumah dengan bahan yang
sama dengan pintunya. Dan wahh, hidungku langsung bereaksi sangat kuat dengan
aroma yang sangat asing bagiku, dan aku sendiri lupa kapan aku mencium aroma
itu terakhir kali. Tapi kerisihanku tak lama bersemayam, dengan segera
beterbangan menguap ke langit langit rumah itu, karena aku lebih tertarik lagi
dengan orang yang duduk santai di pangka
rumahnya yang kali ini terbuat dari bambu. Dan dengan pelan aku berkata tabe untuk mengalihkan pandangannya
padaku, kugunakan cara yang sopan, karena kutahu aku yang butuh, terlebih nenek
ini mengingatkanku pada nenekku, ayah dari ibu yang mengajarkanku berbagai
macam hal yang tak kudapat dari laki-laki kejam itu, dialah yang pantas disebut
ayah. Begitulah adat disini tak dikenal kata kakek, laki-laki atau perempuan
semuanya sama dipanggil nenek.
Dan tak ada tanggapan darinya, bahkan berbalik pun
tidak. Aku sedikit ragu dengan tindakanku, tapi kucoba untuk mendekat dan
berucap tabe lagi dengan suara yang
lebih lantang. Tak ada lagi, dan ku mendekat lagi. Hingga tanpa sadar aku kini
sudah tepat berada dihadapan wajahnya yang sebagian tertutupi rambut senja. Aku
terkaget-kaget, wajah yang tak sesangar yang kubayangkan malah lembut dan
berwibawa nampak jelas. Kemudian ia perlahan-lahan berdiri sebagai respon atas
kedatanganku, namun tak sepatah kata pun ia ucapkan. Perlahan lahan ia menuju
sebuah tempat beralaskan tikar jerami dan duduk dengan santai disana, aku pun
melakukan hal yang sama. karena kutahu semuanya akan dimulai. Dan sebagai tamu
yang baik aku menunggu nenek tuo, untuk berbicara terlebih dahulu, namun tak
ada. Sudah hampir setengah jam kami hanya duduk berdiam diri, kini kesabaranku
sudah sampai kadarnya. Aku yang memulai
“ Nek, ada yang ingin saya konsultasikan?”
Ia diam lagi, dan kulanjut untuk bercerita
“ Nek, sepertinya seorang laki-laki jahat,
menggangguku. Ia mencoba merasuki pikiranku dengan memori yang ia inginkan”
Tak lagi. Angin tak kunjung menggema. Tak putus asa
“ Lalu nek,
apa yang harus saya lakukan?”
Entah apa yang terjadi padanya, hingga ia lebih bisu
dari sebisu-bisunya orang bisu. Aku pun menyerah, karena kini semangatku
tertutupi mendung keputusasaan. Aku berdiri dan melangkahkan kakiku pelan
menuju pintu. Namun sebelum aku betul-betul meninggalkan ruangan itu. Nenek tuo
juga ikut meranjak dari tempatnya dan memanggilku dengan lambaian tangan
rentanya. Aku sangat bersemangat, kupikir ini pertanda yang baik. Dan perlahan
tangannya membuat pola-pola yang sama sekali tak kumengerti, panjang lebar
mulutnya mengikuti irama tangannya dan entah. Kembali lagi aku seperti orang terbodoh
di dunia ini, dan sudah 15 menit berlangsung seperti itu.
Hingga akhirnya aku mulai berpikir keras, dan kutahu
ternyata nenek tuo bisu. Lantas untuk membuktikannya kuambil secarik kertas dan
kutulis “ Maaf, nenek bisu?” ia pun mengernyitkan dahi dan mata keriputnya,
kutahu ia sedang meraba, dan untuk mempermudahnya. Kutulis jauh lebih besar.
Dan akhirnya ia mengangguk mengerti.
Pikirku menjelajah, lantas apa yang selama ini orang
percayai dari nenek bisu ini?, dan bagaimana dengan orang-orang itu selama ini?
Nenek tuo
pun menjelaskan padaku dengan bahasa tangannya yang kucoba untuk mengerti,
tetapi tak semua. Namun kutahu ternyata selama ini dalam benak nenek tuo ia
selalu merasa bersalah, ketika orang-orang datang padanya, memberi uang hanya
karena anggukan dan sebuah barang tidak penting yang nenek tuo berikan. Ia
selalu ingin menjelaskan, namun tak pernah sampai inginnya, orang-orang tak
pernah memahaminya. Dan terkadang, ketidakpahaman itulah yang ia syukuri,
karena disitulah ia mendapatkan makannya. Aku pulang
Dari luar kupandangi rumah megah yang ada
dihadapanku. Aku tidak menyukainya, kuharap hanya ada rumah sederhana yang
rukun dengan penghuninya.
Neraka kembali menghampiriku, ia bertanya tak
pantas, karena bagiku ia adalah mahkluk astral yang menghantui lebih jahat dari
the Flying dutchman. Namun kini, aku
yang tersiksa, dan keberanianku muncul ke permukaan. Aku menyemprotnya ludah
amarah
“ Hei, apa yang sedang kamu lakukan padaku, apa
tidak cukup dengan hanya menggangguku secara langsung, kenapa harus kau racuni
jugga pikiranku”
Namun ia terdiam, layaknya nenek tuo.
“ Kau terlalu ingin kuperhatikan? Jangann harap
karena kau tak pantas”
Ia meninggalkanku.
Aku tak diam saja, aku bergegas berlari ke kamarku,
untuk bertanya pada om dan tante tersayangku, google dan yahoo. Namun
setiap kali kutanya tentang masalahku, selalu saja ia menjawab namun tak masuk
di akalku. Selalu ia besar-besarkan tentang ....., yang mmerupakan suatu
penyakit halusinasi berat. Aku sama sekali tak percaya dan tak akan percaya.
Hingga aku sangat lelah dan kini benci pada
om dan tanteku, namun benciku pada lelaki itu jauh lebih membara. Aku
ingin tidur, untuk sejenak mendinginkan hatiku.
Lima, enam, tujuh atau delapan bahkn mungkin sepuluh
jam aku terlelap tenang. Namun anehnya saat terbanngun aku berada pada dimensi
waktu dan tempat yang berbeda. Kini aku ada di kamar setan, tengah malam dan
memegang pisau yang bergagang dan bermata merah agak tua dan mengering. Aku
lantas kaget, namun ada hal yang lebih aneh lagi. Setan itu tergeletak beberapa
meter disampingku, dan kaku. Aku bingung rasa apa yang kini bergejolak dalam
hatiku saat itu. Kaget sedikit, sedih tidak ada sama sekali, dan senang
mendominasi.
Aku melihat keadaan sekitar, sama sekali tak
kuhiraukan setan itu. Hingga bau menyengat mulai merasuki hidungku, dan
tentunya hidung para tetanggaku. Yang mulai bergantian mengintip ke dalam.
Awalnya aku tak terusik, namun tatapan tajam mereka kepadaku mulai mengganggu.
Dan mereka malah makin lancang, memasuki rumahku dengan aparat berpakaian rapi
namun tak serapi kerjanya. Dan langsung menggiringku bersama mereka ke hotel
prodeo dan membawa setan itu ke rumah sakit, dan kudengar untuk otopsi.
Di hotel itu, mereka menjagaku serius dan menanyaiku
lebih serius lagi. Dan kujawab dalam diamku. Hingga membuat mereka geram dan
hampir bertindak bodoh. Aku terus berdiam beberapa jam di tempat yang sama,
hingga aku merasa haus.
“ Beri
aku minum, karena kalian aku harus
membuang waktu disini hanya untuk pertanyaan dan tuduhan konyol tentang setan
itu”
Aku terdiam beberapa detik
“ Lagipula, apa peduli kalian. Aku saja tak peduli.
Lagipula kalian harusnya merasa senang karena telah musnah satu lagi setan di
dunia ini”
Mendengar pernyataanku yang tergolong nyeleneh,
mereka pun menertawaiku
“ Anak ini saraf kali ya? Ayahnya meninggal, malah
senyum-senyum gitu. Malah kita disuruh bahagia”
Aku tak terlalu risau dengan apa yang mereka
pikirkan, tak penting. Namun yang penting sekarang bagaimana aku bisa pulang
dan tidur, ini betul-betul mengganggu tidurku. Dan tuhan sangat menyayangiku.
Aku boleh pulang. Dan hatiku mencoba tenang, namun aku kini penasaran. Apa yang
sedang terjadi? Apa aku telah berbuat salah?
Aku pun menelusuri seisi rumahku. Tak ada yang
berbeda hanya ruang hembusan terakhir setan itu yang kini dihiasi garis kuning
hitam. Aku melangkah masuk. Berlumuran darah yang mengering, dan aku mencoba
menelusuri dan mencari hal sekecil apapun. Dan kaki ku terus melangkah sigap.
Hingga aku terhenti karena sebuah amplop putih berhias bintik merah yang menghalangiku.
Tak penting. Namun derajat penasaranku mengalahkan malas yang luar biasa ini.
Kubuka perlahan namun tersegel rapi, kupaksa saja dan....
