Selasa, 29 Maret 2016

Bismillaahirrahmaanirrahim. Kali ini cerpen berjudul Aku dan Ayah siap untuk dibaca. Enjoy it



Aku, neraka dan surga ayah
Megah bagai neraka. Ingin terus diteriakkan batin yang kini haus akan hidup dan damai, tak kunjung datang hingga akhirnya ia akan menyerah dan berhenti menyapa hidup.
Di kota inilah aku pertama kali memulai nafas kehidupan dan membalas dengan karbon. Dan aku tak sendiri. Ada banyak masyarakat lain yang turut berbagi oksigen denganku, bahkan terlalu banyak hingga memuakkan. Mulut ku saja kini sudah mengganti peran hidung menghirup oksigen dengan omelan kasar yang kadang tak pantas. Dan tak akan pernah kusalahkan diriku, karena hidup disini bukan pilihanku. Hidup diantara orang orang individualis ini bahkan sangat tak ingin aku. Mereka yang salah. Mengapa memilih hidup ditempat yang sama denganku? Disuatu tempat sesempit ini, andai kutahu ketika hirupan nafas pertamaku, mungkin akan kupilih berlindung kembali dirahim ibu. Dan dia tak akan menolak menyisihkan sebuah tempat kecil dalam tubuhnya untukku. Tapi kini tak akan bisa lagi, kini ia bahkan sudah terlalu tua hanya untuk sedikit goresan dikulitnya. Namun kasihnya tak kan rontok oleh waktu yang egois berlari meninggalkan kenangan. Kasih yang selalu membuat seluruh manusia di jagat raya ini yang terlahir sebagai seorang anak, tidak akan mampu menolak diri untuk memanggil ibu dalam keadaan sadar atau tak sadar. Aku sama, bahkan jika aku berdoa tak ada yang lain yang ingin kuminta, aku hanya berharap didunia ini hanya hidup anak dan para ibunya. Tak ada yang lain, bahkan tak akan pernah ada. Namun tuhan tak ingin doaku, ia menghadirkan yang lain. Yang berbeda denganku dan ibu. Dan terlihat jauh lebih kuat fisiknya dari ku dan ibu. Yang kata orang disebut dengan ayah.
Ayah. Tak ada yang istimewa dari sosoknya di hidupku atau mungkin juga dihidup semua anak di planet ini. Bahkan nyaris tak kuutahu apa sebenarnya peran seorang ayah. Jika hanya memenuhi materi, aku dan ibu jelas juga bisa. Itulah kenapa aku ingin menyingkirkannya dari hidupku. Dan pernah terfikir mungkin dengan mengirimnya ke planet mars akan sangat membantu. Itulah mengapa aku sangat ingin menjadi astronomi secepat mungkin untuk meneliti kehidupan disana, jika astronomi sekarang tak sanggup. Maka aku yang akan terjun langsung. Tapi tak kunjung datang waktu itu, hingga aku mulai muak. Setiap hari harus melihatnya menyambut pagi dengan setelan jas rapi yang menjijikkan. Dan menyambut senja dengan pakaian yang sama. Bagai patung tak punya hati yang terus berjalan disekitar rumah. Tak pernah menegur adalah kebiasaannya. Atau mugkin tak pernah mengerti akan bahasa yang kami gunakan. Ia sungguh membosankan.
Tapi pada satu hari penting di keluarga kami, ia betul betul ingin membuatku meledak. Dia tak kunjung  datang seluruh tamu telah siap menyambut kebahagiaan keluarga kami. Kulihat wajah ibuku saat itu memerah entah karena marah atau malu. Beban berat seakan menumpuk digaris wajahnya. Namun tak akan bisa terlampiaskan tentunya, aku yakin. Karena ia sangat sayang pada laki laki robot itu. Entah apa yang  telah ia dapat atau apa yang ia nantikan dari orang seperti itu. Aku selalu mencoba menenangkan ibu walau kuyakin ia tak butuh itu, karena ia wonder woman ku. Tapi tak akan bisa kuterima perbuatan lelaki jahat itu, karena aku tak sesabar  ibu.  Sudah kusiapkan senjataku, aku kini telah siap berperang dengan penjajah dirumah ini.
Dan ia datang, terlihat sangat lesuh. Kutahu itu pura-pura. Kuhampiri dia dengan tekad dan amarahku yang betul betul telah menggebu. Tanganku kukepal sekuat tenaga namun amarahku terus membuatnya bergetar. Kepalaku tak sekalipun tertunduk bahkan ketika aku sudah mulai berdemo padanya, matanya sudah mulai merah geram menatapku, aku tak sekalipun gentar bahkan ketika tangan besarnya itu jelas mengarah ke pipiku dan aku segera menepisnya karena kutahu aku tidak salah. Keributan jelas tak bisa tertahankan saat itu. Teriakan anak durhaka terus menggema di seisi ruangan,tapi tak kalah, aku jauh lebih ganas meneriakinya dan aku tak akan berhenti hingga gendang telinganya pecah memenuhi ruangan, sementara ibu hanya terus menangis dan tak dapat melerai kami.
            1001 alasan terus dan terus datang menghampiri. Tapi tak satupun yang lolos saring, dan aku tak akan terima apapun, selain kehadirannya tadi. Terus berlangsung dan tak pernah membosankan hingga tangisan histeris ibu mengalahkan suara kami. Aku tersentak, fikirku mulai menjelajah. Aneh. Ibu tak pernah melakukan hal semacam itu. Aku berlari sekuat tenaga menghampiri ibu, aku tak ingin berfikir terlalu banyak dulu namun saat kulihat seluruh badannnya terkulai lemah karena tarikan tali yang mengekang lehernya diruangan yang kini berwarna merah suram kehidupan. Fikirku membeku, hidupku berhenti saat itu juga. Ibu malang, tolong jangan. Tapi terlambat, hembusan nafas terakhirnya tak bisa kugenggam, ia pergi dan saat itu jugalah jiwaku ikut padanya. Tangis tak ada, bahkan aku tertawa lalu mengambil kursi dan pelan pelan menopangnya turun. Kucuran darah mengalir deras. Kuletakkan ibu yang kurasa masih hangat dikasur. Aku m emandanginya, tangisku tak bisa meledak. Namun hatiku yang kini banjir. Aku hanya bisa tertawa meratapi nasib ibu, aku terus berbisik pelan ditelinganya “ ibu tunggu aku, aku segera menyusul, paling lama 5 menit, aku akan mencari cara yang lebih cepat dari ibu”. Kemudian aku berlari mengelilingi ruangan itu namun tak kudapat apa yang kucari, hingga aku ingat bahwa ibu mempunyai kotak P3K pribadi di kamarnya ini. Aku segera kesana mengambilnya, kulihat ada banyak sekali  jenis obat. Aku mengambil segenggam penuh obat berwarna putih dengan ukuran yang sangat besar. Aku menelan ludahku. Aku siap sekarang. Kuayunkan tanganku yang kini menggenggam obat itu ke mulutku yang kubuka lebar agar semuanya mendapatkan tempat. Aku akan segera bertemu ibu, pikiran itu yang terus berkumandang dalam fikirku, yang juga membuatku seberani ini sekarang. Namun sayang tangan yang lebih besar malah menghempas obat itu sangat jauh dariku dan berhamburan ke lain. Tanpa mencoba melihat siapa dia, aku memungut obat itu satu persatu, mencoba mengumpulkannya. Namun kembali kali ini sol sepatu laki laki itu yang malah menghancurkan obat itu satu persatu. Dan sangat kukenali siapa dia, karena tak banyak orang yang hidup disini hanya aku, ibu, dua orang pembantu yang sekarang malah sudah pulang kampung dan satu laki laki patung, dan pasti ia yang melakukan ini. Aku bangkit dan menatapnya penuh amarah dengan senyum tipis dibibirku.
“Kenapa hah?  Biarkan aku pergi bersama ibu, aku tak ingin hidup sia sia.”
“Yah, aku tahu. Silakan. Tapi jangan sekarang aku tak ingin dituduh menjadi seorang pembunuh karena dua orang bodoh di rumah ini, aku tak ingin hidupku hancur. ”
“Apa?  kau bilang ibu bodoh,  kau yang bodoh, gila dan tak berperasaan. Dan yah kehancuranmu itulah inginku, dan aku rela mati untuk itu.”
“Sudahlah, ia yang memilihnya sendiri. Tak akan semudah itu. Dan aku dapat pastikan semua yang kau lakukan akan menjadi sia-sia”
Aku sangat heran terhadap apa yang ia lakukan. Sejahat apapun dia, setidaknya dia harusnya paling  tidak berduka cita atas sang istri yang telah hidup 18 tahun bersamanya, tapi tak nampak sedikit pun. Bahkan berduka cita pun tak akan cukup baginya, karena dia ibu merasakan penderitaan yang luar biasa saat hidupnya hingga hembusan nafas terakhirnya. Tapi dengan santainya ia menghubungi bawahannya yang berjumlah cukup banyak untuk membantu atau lebih tepatnya mengurusi pemakaman ibu. Ia tak melakukan apapun. Bahkan pada saat pengajian untuk ibu, ia tak nampak sedikitpun. Kini hidupku tak pantas lagi disebut hidup. Impianku dan harapanku kini beranjak pergi meninggalkan tempatnya.
Tapi tidak bagi lelaki itu, ia beraktivitas seperti biasanya. Bahkan kini perusahaannya terus berkembang dengan laba yang berlipat. Aku heran, mengapa orang orang dengan pendidikan yang tinggi, mau bekerja sama dengannya. Dengan orang tak punya hati itu.
Hingga suatu saat aku tak tahan lagi, luka yang coba kuobati dalam beberapa bulan ini, tak kunjung sembuh. Dan ide brilliant  mampir diotakku. Kutelepon seorang reporter kenalanku, ia adalah ayah dari teman sekelasku. Dan dengan menyembunyikan identitas, kucoba membuatnya tertarik untuk menjadikanku naarasumber untuk sebuah berita, yang akan sangat menggemparkan, aku menawarkan sebuah berita bahwa seorang istri pengusaha besar yang meninggaal beberapa bulan yang lalu, tidaklah meninggal secara wajar, melainkan dibunuh oleh suaminya sendiri yang psikopat. Yah istri pengusaha yang kumaksud adalah ibuku, dan psikopat itu adalah suaminya. Dan ternyata si reporter setuju. Dan kami bertemu di sebuah taman di sudut kota untuk wawancara dan tentunya identitasku aman.
 Dan keesokan harinya, tak butuh waktu lama, berita itu sudah terpampang jelas dikoran. Aku terus tersenyum sepanjang hari menyambutnya.  Sementara lai-laki itu terus kepusingan dengan dering telepon dari rekan bisnisnya yang terus membanjirinya,  yang kebanyakan untuk memutuskan kerja sama. Dan bisa kukatakan bahwa hari itu adalah hari terbaik untukku. Aku berhasil membangkitkan perhatian orang lain lagi pada kematian ibuku, walau sebenarnya memang ibu tidak dibunuh, tetapi laki laki itu telah membuat hati ibu mati jauh sebelum kematiannya, membuat ibu sangat terpukul hingga akhirnya nekad. Jadi, gantung diri ibu hari itu hanyalah sebagai perwujudan dari kematian hidup ibu yang telah berlangsung lama. Kemudian jelas tak berlebihan untuk menyebutnya sebagai seorang psikopat, bahkan dia lebih kejam dari itu.
Dan sebagai lanjutan dari berita itu. Sebuah surat berhias simbol kepolisian datang ke rumahku. Dan laki-laki itu dipanggil untuk pemeriksaan. Namun sayang kepolisian tidak bisa menemukan makna sebenarnya dari berita dikoran itu, mereka hanya terus menelusuri bukti dan tak bisa melihat makna tersirat dari kata “membunuh”  yang kumaksud. Dan kasus itu ditutup. Dan untungnya laki-laki itu tak menuntut balik.
Kembali hari-hari ku berlangsung tak karuan, aku hidup untuk apa  aku juga tak tahu. Aku bingung mengapa lelaki itu seakan mempunyai jutaan aktivitas yang terus menantinya. Dan tanpa sadar aku mulai aneh karena memperhatikannya.
Hari demi hari aktivitasnya terus bertambah, bahkan 24 jam tak akan cukup baginya. Hingga aku penasaran dengan apa sebenarnya yang membuatnya sekeras itu, tapi segera terjawab itu untuk kesenangannya semata, aku tak pernah tahu mengapa setiap kubuka mataku, rasa kasihan yang kuharap adalah benci malah sering bolos kali ini. Aku pun tak tahu dari mana aku kini banyak tahu tentangnya, padahal sedari kecil aku tak pernah tahu apa apa tentangnya hanya yang nampak dari luar saja bahwa dia lelaki kekar , dengan hidung mancungnya dan bibir tipisnya dan ia adalah suami ibuku, hanya itu. Tapi kini, aku bahkan tahu tentang makanan kesukaannya, ia alergi terhadap apa bahkan kebiasaannya memotong kukunya setiap pagi walau sebenarnya tak pernah cukup panjang untuk dipotong, aku tahu semua itu. Dan hal itu selalu hadir di mimpiku. Entah kenapa? Mungkin ibu yang diam-diam menyusup ke mimpiku untuk menceritakan hal hal tidak penting itu. Aku selalu mencoba menghapus hal hal itu, tapi selalu saja bertambah. Tersiksa. Bagai dipaksa menelan tanpa mengunyah. Aku selalu ingin mencoba mencari tahu tentang hal ini, namun kembali aku berfikir pasti hanya ibu yang sedang sangat merindukan laki laki itu dan mencoba menyuruhku untuk lebih memerhatikannya, tapi tak akan sampai kapan pun.
Minggu pertama, sungguh 7x24 jam yang melelahkan disaat mimpi mimpi itu telah terbang menyeberang ke alam nyata dan menggangguku dan kurasa hanya aku yang kini risau. Dan aku kini layaknya dipingit kenangan dan harapan. Hal hal aneh yang kualami kini sangat kejam dalam romantis. Aku kini berpikir untuk  pergi ke dukun karena kutahu dokter tak akan mampu menjelaskan masalahku ini secara ilmiah. Karena laki laki jahat itu yang pasti melakukan hal ini dengan sangat tidak berpendidikan, kutahu itu.
Matahari pagi yang bergelantungan menyambut rencanaku, kutelusuri lorong-lorong tempat tinggal nenek tuo, nama dari orang pintar itu, dan tentunya aku turut membawa syarat-syarat yang biasa dibawa oleh pegunjung lain, yaitu ayam berumur....,..... kemudian aku membuka pelan pelan pintu yang hanya terbuat dari daun pisang dari sebuah rumah dengan bahan yang sama dengan pintunya. Dan wahh, hidungku langsung bereaksi sangat kuat dengan aroma yang sangat asing bagiku, dan aku sendiri lupa kapan aku mencium aroma itu terakhir kali. Tapi kerisihanku tak lama bersemayam, dengan segera beterbangan menguap ke langit langit rumah itu, karena aku lebih tertarik lagi dengan orang yang duduk santai di pangka rumahnya yang kali ini terbuat dari bambu. Dan dengan pelan aku berkata tabe untuk mengalihkan pandangannya padaku, kugunakan cara yang sopan, karena kutahu aku yang butuh, terlebih nenek ini mengingatkanku pada nenekku, ayah dari ibu yang mengajarkanku berbagai macam hal yang tak kudapat dari laki-laki kejam itu, dialah yang pantas disebut ayah. Begitulah adat disini tak dikenal kata kakek, laki-laki atau perempuan semuanya sama dipanggil nenek.
Dan tak ada tanggapan darinya, bahkan berbalik pun tidak. Aku sedikit ragu dengan tindakanku, tapi kucoba untuk mendekat dan berucap tabe lagi dengan suara yang lebih lantang. Tak ada lagi, dan ku mendekat lagi. Hingga tanpa sadar aku kini sudah tepat berada dihadapan wajahnya yang sebagian tertutupi rambut senja. Aku terkaget-kaget, wajah yang tak sesangar yang kubayangkan malah lembut dan berwibawa nampak jelas. Kemudian ia perlahan-lahan berdiri sebagai respon atas kedatanganku, namun tak sepatah kata pun ia ucapkan. Perlahan lahan ia menuju sebuah tempat beralaskan tikar jerami dan duduk dengan santai disana, aku pun melakukan hal yang sama. karena kutahu semuanya akan dimulai. Dan sebagai tamu yang baik aku menunggu nenek tuo, untuk berbicara terlebih dahulu, namun tak ada. Sudah hampir setengah jam kami hanya duduk berdiam diri, kini kesabaranku sudah sampai kadarnya. Aku yang memulai
“ Nek, ada yang ingin saya konsultasikan?”
Ia diam lagi, dan kulanjut untuk bercerita
“ Nek, sepertinya seorang laki-laki jahat, menggangguku. Ia mencoba merasuki pikiranku dengan memori yang ia inginkan”
Tak lagi. Angin tak kunjung menggema. Tak putus asa
  Lalu nek, apa yang harus saya lakukan?”
Entah apa yang terjadi padanya, hingga ia lebih bisu dari sebisu-bisunya orang bisu. Aku pun menyerah, karena kini semangatku tertutupi mendung keputusasaan. Aku berdiri dan melangkahkan kakiku pelan menuju pintu. Namun sebelum aku betul-betul meninggalkan ruangan itu. Nenek tuo juga ikut meranjak dari tempatnya dan memanggilku dengan lambaian tangan rentanya. Aku sangat bersemangat, kupikir ini pertanda yang baik. Dan perlahan tangannya membuat pola-pola yang sama sekali tak kumengerti, panjang lebar mulutnya mengikuti irama tangannya dan entah. Kembali lagi aku seperti orang terbodoh di dunia ini, dan sudah 15 menit berlangsung seperti itu.
Hingga akhirnya aku mulai berpikir keras, dan kutahu ternyata nenek tuo bisu. Lantas untuk membuktikannya kuambil secarik kertas dan kutulis “ Maaf, nenek bisu?” ia pun mengernyitkan dahi dan mata keriputnya, kutahu ia sedang meraba, dan untuk mempermudahnya. Kutulis jauh lebih besar. Dan akhirnya ia mengangguk mengerti.
Pikirku menjelajah, lantas apa yang selama ini orang percayai dari nenek bisu ini?, dan bagaimana dengan orang-orang itu selama ini?
Nenek tuo pun menjelaskan padaku dengan bahasa tangannya yang kucoba untuk mengerti, tetapi tak semua. Namun kutahu ternyata selama ini dalam benak nenek tuo ia selalu merasa bersalah, ketika orang-orang datang padanya, memberi uang hanya karena anggukan dan sebuah barang tidak penting yang nenek tuo berikan. Ia selalu ingin menjelaskan, namun tak pernah sampai inginnya, orang-orang tak pernah memahaminya. Dan terkadang, ketidakpahaman itulah yang ia syukuri, karena disitulah ia mendapatkan makannya. Aku pulang
Dari luar kupandangi rumah megah yang ada dihadapanku. Aku tidak menyukainya, kuharap hanya ada rumah sederhana yang rukun dengan penghuninya.
Neraka kembali menghampiriku, ia bertanya tak pantas, karena bagiku ia adalah mahkluk astral yang menghantui lebih jahat dari the Flying dutchman. Namun kini, aku yang tersiksa, dan keberanianku muncul ke permukaan. Aku menyemprotnya ludah amarah
“ Hei, apa yang sedang kamu lakukan padaku, apa tidak cukup dengan hanya menggangguku secara langsung, kenapa harus kau racuni jugga pikiranku”
Namun ia terdiam, layaknya nenek tuo.
“ Kau terlalu ingin kuperhatikan? Jangann harap karena kau tak pantas”
Ia meninggalkanku.
Aku tak diam saja, aku bergegas berlari ke kamarku, untuk bertanya pada om dan tante tersayangku, google dan yahoo. Namun setiap kali kutanya tentang masalahku, selalu saja ia menjawab namun tak masuk di akalku. Selalu ia besar-besarkan tentang ....., yang mmerupakan suatu penyakit halusinasi berat. Aku sama sekali tak percaya dan tak akan percaya. Hingga aku sangat lelah dan kini benci pada  om dan tanteku, namun benciku pada lelaki itu jauh lebih membara. Aku ingin tidur, untuk sejenak mendinginkan hatiku.
Lima, enam, tujuh atau delapan bahkn mungkin sepuluh jam aku terlelap tenang. Namun anehnya saat terbanngun aku berada pada dimensi waktu dan tempat yang berbeda. Kini aku ada di kamar setan, tengah malam dan memegang pisau yang bergagang dan bermata merah agak tua dan mengering. Aku lantas kaget, namun ada hal yang lebih aneh lagi. Setan itu tergeletak beberapa meter disampingku, dan kaku. Aku bingung rasa apa yang kini bergejolak dalam hatiku saat itu. Kaget sedikit, sedih tidak ada sama sekali, dan senang mendominasi.
Aku melihat keadaan sekitar, sama sekali tak kuhiraukan setan itu. Hingga bau menyengat mulai merasuki hidungku, dan tentunya hidung para tetanggaku. Yang mulai bergantian mengintip ke dalam. Awalnya aku tak terusik, namun tatapan tajam mereka kepadaku mulai mengganggu. Dan mereka malah makin lancang, memasuki rumahku dengan aparat berpakaian rapi namun tak serapi kerjanya. Dan langsung menggiringku bersama mereka ke hotel prodeo dan membawa setan itu ke rumah sakit, dan kudengar untuk otopsi.
Di hotel itu, mereka menjagaku serius dan menanyaiku lebih serius lagi. Dan kujawab dalam diamku. Hingga membuat mereka geram dan hampir bertindak bodoh. Aku terus berdiam beberapa jam di tempat yang sama, hingga aku merasa haus.
 “ Beri aku  minum, karena kalian aku harus membuang waktu disini hanya untuk pertanyaan dan tuduhan konyol tentang setan itu”  
Aku terdiam beberapa detik
“ Lagipula, apa peduli kalian. Aku saja tak peduli. Lagipula kalian harusnya merasa senang karena telah musnah satu lagi setan di dunia ini”
Mendengar pernyataanku yang tergolong nyeleneh, mereka pun menertawaiku
“ Anak ini saraf kali ya? Ayahnya meninggal, malah senyum-senyum gitu. Malah kita disuruh bahagia”
Aku tak terlalu risau dengan apa yang mereka pikirkan, tak penting. Namun yang penting sekarang bagaimana aku bisa pulang dan tidur, ini betul-betul mengganggu tidurku. Dan tuhan sangat menyayangiku. Aku boleh pulang. Dan hatiku mencoba tenang, namun aku kini penasaran. Apa yang sedang terjadi? Apa aku telah berbuat salah?
Aku pun menelusuri seisi rumahku. Tak ada yang berbeda hanya ruang hembusan terakhir setan itu yang kini dihiasi garis kuning hitam. Aku melangkah masuk. Berlumuran darah yang mengering, dan aku mencoba menelusuri dan mencari hal sekecil apapun. Dan kaki ku terus melangkah sigap. Hingga aku terhenti karena sebuah amplop putih berhias bintik merah yang menghalangiku. Tak penting. Namun derajat penasaranku mengalahkan malas yang luar biasa ini. Kubuka perlahan namun tersegel rapi, kupaksa saja dan....
Text Box: For : My beloved daughter
Kematian ini, sudah kuduga. Akan tiba dan inilah waktunya. Mungkin terdengar lancang untuk sebutan “ My beloved daughter” tetapi itulah yang seharusnya selalu ayah katakan gadis kecilku. Kuingat waktu gadis kecilku ini pertama kali menumpahkan air matanya ke bumi ini. Ayah menangis waktu itu, andai kau lihat. Setelah itu tak ada lagi tangis haru. Bukan karena tak ingin tapi tak bisa. Dan karena itu kau sebut ayah jahat dan pernah ayah dengar kau menyebut ayah setan. Jujur hati ayah sangat sakit. Tetapi ayah tahu hatimu lebih sakit karena sikap ayah. Dari surat ini, ayah ingin ungkap semuanya, semua alasan ayah berbuat tak pantas denganmu. Entah akan menambah rasa sakitmu, rasa bencimu pada ayah. Tetapi ingat satu hal, ini bukan salahmu. Kematian ibu. Kau pasti menyalahkan ayah. Dan kau tidak salah. Karena ayah yang tidak menjaganya dari masalahnya yang mungkin ayah sendiri tak bisa menanggungnya. DID mungkin kamu pernah baca atau dengar itu. Maaf gadis kecilku tetapi kini ayah harus membiarkan kamu berjuang sendiri. Semangat sayang, lawan yah, tidak berbahaya kalau kamu sudah bisa kenal dia. Kita akan berkumpul lagi bersama ibu suatu saat. Tetapi ingat kau harus menyebar 1000 atau lebih kebahagiaan dan senyum yang dulu ayah renggut, karena ayah hanya tidak ingin membuatmu merasa bersalah karena perbuatan-perbuatan yang sebenarnya di luar kendalimu. Jadi, pilihan terbaiknya hanyalah agar kau membenci ayah. Dan ibu sepertinya sudah tidak bisa menahan situasi itu. Berjuanglah gadis kecil ayah yang kini mulai remaja
Salam cinta
Ayah

Apa ini? Aku bingung. Entah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar