Kayu hitam pekat bergaris luka
“Akan
kubunuh orang itu sekarang dan kutanam dalam-dalam”
Bantu
aku untuk terus mengingat itu, karena kalimat itu akan terus menjuntai panjang
saat harus bertemu dengan pembunuh yang telah membunuh kematian dalam hidupnya
yang telah lama mati dalam hidup dan kehidupan orang banyak. Yang telah
menggali hidup terdalam hingga terhapus dalam pandangan langit yang kini
membiru bahkan menghitam tanpa tangis karenanya.
Selain
membantuku mengingat sepenggal kalimat tak berharga itu, maukah kau sejenak
mendengarku berkisah tentangnya dalam kisahku yang tak berjudul, tak bermulai
dan tak berakhir. Itupun kalau kau tertarik. Jika tidak, aku tak peduli karena
aku akan tetap bercerita. Memangnya sepenting apa kau? Kau kan hanya penikmat
manja. Jadi akan kuteruskan.
Dia
, yah dia. Sangat jelas aku bisa mengingat saat ia tertawa dalam tiupan angin
yang perlahan bahkan ketika angin tak lagi bertiup sekalipun pada helaian
rambutnya, ia tetap terlihat mengagumkan dan anggun saat berpadu dengan langit
dan tanah dekorasi-Nya.
Benar-benar
perpaduan yang indah. Bahkan saat melihatnya aku yakin kau tak akan tertarik untuk
hal lainnya. Tak seperti boneka-boneka bodoh itu yang terus saja melanglang buana
ke negeri seberang untuk menikmati, oh tidak... lebih tepatnya berpamer dan
berpura-pura menikmati panorama yang disajikan tuhan disana layaknya menikmati
surga dunia walau kutahu sebenarnya mereka tak mengerti itu. Hanya sia-sia tentunya.
Dasar. Mungkin mereka sudah terlalu kaya.
Sudahlah
tentu tak penting membahas mereka. Karena mereka sama sekali tak pantas mendapatkan tempat pada kata demi kata dalam cerita ini walau
hanya sebait sekalipun. Untuk apa? Untuk mengotori pikiranmu tentang kebiasaan-kebiasaan
aneh keasing-asingan mereka. Yang sama sekali tak berharga untukmu, untukku
terlebih lagi untuknya.
Untuk
hal yang selalu kucoba dan ia coba pertahankan. Dirinya yang selalu mencoba
untuk menempatkan diri hingga setidaknya berharga di mata langit yang
menaunginya teduh dan bermakna di relung tanah yang menyatukannya dengan
hidupnya. Tapi, menurutku sama sekali tak penting untuknya berusaha. Buat apa
lagi? Hanya untukmu tanpa manfaat baginya. Egois memang. Tapi kau harus tahu
egois bisa menuntunmu menuju kebahagiaan. Kau setuju? Sudahlah.
Tapi,
kau tak perlu terlalu khawatir, bukan hanya kau, teman atau kawanmu yang egois,
bukan pula hanya aku atau teman-temanku.
Tapi semua. Sebangsa kita atau senegara kita bahkan sedunia kita pun
bukan tuduhan yang berlebihan, karena sangat pantas. Aku akan kembali pada
ceritaku untukmu.
Saat
itu kami terus menghabiskan waktu yang telah menjadi jatah kami dari tuhan
dengan tak satupun sedih yang dapat kau lihat. Bermain kenja, petak umpet atau sekedar menikmati sunrise atau sunset.Mungkin
semuanya berawal dari sana. Mungkin juga sebelum atau sesudahahnya. Dan kau tak
perlu tahu. Karena kau tidak termasuk bagian dari persahabatan kami. Dan jangan
berpikir karena kau bersedia meluangkan
sedikit waktu untuk membaca omong kosongku ini, kau mendapatkan hak atas
persahabatan kami. Tentu tidak.
Asal
kau tahu aku padanya bagai seorang maniak yang terus saja terhenyak untuk terus
mengikutinya dalam kaleidoskop waktu yang menegangkan. Dan melalui pos angin
atau message dari akun facebook
lucunya ia selalu membisikkan kisah teman-temannya yang selalu bermimpi sama
dengannya, menikmati hidup yang bahkan sedikit saja lebih lama.
Namun mimpi akan hidup yang telah menjadi asa
yang terus putus pada orang yang telah memilikinya. Mimpi yang kini telah
menjadi cinta yang terlalu dalam dan dipaksakan. Mimpi yang seakan-akan mimpi
karena telah lelah dalam ruang penantian. Hingga akhirnya waktu hanya akan
melalui mimpi dan hanya meninggalkan kata “berlalu”
Namun
berlalu baginya, tak akan betul-betul berlalu hanya karena penanggalan kalendar
yang sia-sia. Karena nasib baik terus turut padanya dan terus saja
mengagetkanku. Begitupun saat tragedi yang membawa temannya untuk menikmati
perjalanan ke puya layaknya ambe, pada kisah salah satu novel terkenal yang
terus kuceritakan untuknya hingga membuatnya fasih menuturkan kata demi kata
jauh lebih baik dariku. Saat tragedi itu
ia tak tersentuh malapetaka sedikitpun. Namun membuatku marah mengganti sedih
karena ia selalu membayangkan dirinya juga turut terkubur dalam dirinya lagi
dan turut menunggu nasib hingga ke “puya” bersama teman-temannya.
“
Tentu akan sangat menyenangkan” tuturnya
pelan namun penuh harap. Apakah aku salah memillih novel itu untuknya? hingga ia
terhanyut bahkan lebih dan lebih lagi. Terus kutahan dengan bulir-bulir
kehidupan dan bubuk-bubuk hidup ajaib yang selalu kuusahakan untuknya. Dan
keselamatan akhirnya miliknya dan beberapa yang lain tanpa bantuanku.
Tak
pernah kulihat air matanya setelah itu, begitupun tawa. Tak pernah kulihat
tanda kematian yang selalu saja mati dalam tanda-tanda yang tak kunjung bisa
kubaca, begitupun tanda kehidupan.
Melalui
pos angin dan kembali lagi kucoba melalaui facebook, twitter , path atau
instagramnya tapi tak kunjung kutahu kondisinya, karena ia tak peduli mengirim
yang lain.
Kemalangan
teman-temanya telah melukainya dalam bahkan sangat dalam. Hingga aku sendiri
tak tahu seberapa dalam itu. Hanya wajah yang selalu terpaut lebih tua
sekarang. Andai aku tahu cara menenangkan siksa batinnya walau hanya sedetik,
memandang keindahan senyumnya yang tipis namun menyimpan sejuta bahagia yang
seakan tak pernah berujung.
Aku
tak ingin lagi bertemu dengannya saat ini, hingga luka itu tidak terlalu besar
lagi baginya. Hanya akan kubacakan puisi-puisi batin yang akan terdengar
sempurna pada batinku dan batinnya yang mungkin sekarang masih terhubung atau
juga tidak. Karena ia sudah terlalu benci melihat visualku maka audio pun tak
apa. Aku tak ingin menghancurkan asa hidup saudaraku ini. Asa yang telah ia
tumbuhkan jauh sebelum aku mengenal dunia. Asa yang telah membuatku tidur tak
nyenyak dalam bayang-bayang tiap malam namun menyulut semangatku ketika
matahari terbit hingga menjelang senja
datang.
Tawa
yang berbinar layaknya para anak pesisir pantai saat bermain di pegunungan atau
tawa yang selalu saja turut menghadirkan tawa pula dari anak kaki atau puncak gunung
saat mereka bermain dengan deru ombak yang menderu tanpa kenal lelah. Kini
suram oleh pelangi mendung yanng muncul setiap kali membayangkan ia kini.
Mungkinkah sebenarnya ini adalah tanda tragedi selanjutnya yang kau kirim tuhan
saat itu?
Tapi
aku sudah terlanjur terlalu rindu pada aroma semangat yang tumbuh menjamur
dalam dirinya. Aku sangat menyayanginya dan mimpi-mimpinya. Andai semangat bisa
dibagi layaknya foto atau artikel pada sosial media yang terkenal itu. Akan
kubagi sedikit yang kupunya.
Aku
tak tahu sejak kapan perasaan itu muncul padanya dan padaku. Namun tentu
perasaan itu muncul sebelum aku mengenal sedih, benci ataupun dendam. Yang
selalu saja muncul pada tiap-tiap dongeng yang diceritakan mamak padaku
menjelang tengah malam. Entah darimana ia mendapatkan kisah bohong itu setiap
harinya. Tapi, sangat menyenangkan larut dalam kebodohan itu.
Aku
adalah penikmat kebohongan. Lembut bagai selimut namun akan berbalik menjadi
sangat tajam layaknya pisau ketika terungkap dihadapan orang-orang yang
membenci kebohongan. Sangat nikmat terdengarnya dan kau dasar munafik. Bagaimana
kau membenci kebohongan yang sebenarnya tak bersalah? Asal kau tahu saja kebohongan
itu tak bisa apa-apa tanpa kau yang menggerakkannya dan akhirnya malah menjatuhkanmu.
Kasian kau.
Kebohongan
memang mampu membunuh. Tapi, asal kau tahu lagi banyak orang yang menyambung hidup
hanya dengan suatu kebohongan. Sebut saja koruptor, hakim tersuap, penjual
bakso boraks ataupun mungkin juga kau pernah terselamatkan karena sebuah
kebohongan.
Memangnya
mereka hobi dengan itu? Hobi yang baik memang. Haruskah kupelajari?
Ahh...tidaklah aku bahkan sudah sangat hapal detailnya.
Aku
akui aku pun pernah larut ke dalamnya karena aku tak sesuci malaikat. Saat itu
aku berada diambang keputusasaan pada saat harus menghadapi ulangan layaknya
siswa-siswa yang lain. Jangan bilang kau baru tahu aku adalah seorang siswa.
Kau pembaca yang keterlaluan. Tapi sudahlah setidaknya kau cukup baik hingga
mampu sampai ke tahap ini.
Saat
ulangan entah kenapa guruku yang satu ini tidak pernah lepas dari kebiasaannya
untuk memberi soal yang tidak tanggung-tanggung membawa para siswanya ke ambang
batas keputusasaan ditambah lagi satu kebiasaannya yang betul-betul dapat
membunuh semua murid. Bagaimanapun cerdas atau rajinnya kau. Aku yakin dalam 3
kali pertemuan saja atau setidaknya 2 kali ulangan harian kau akan menyerah
saat itu juga. Tapi, harus melanjutkan dalam keadaan terpaksa. Kau pasti akan
mengasihani dirimu mulai saat itu, karena harus bertemu dengan mahkluk seperti
dia.
Mungkin
terdengar sangat tidak sopan untuk membicarakan guru seperti itu yang harusnya
kita sanjung dan memang pantas. Tapi, hanya untukmu aku berani bicara seperti
ini, dan ingat ini hanya sekedar berbagi pengalaman saja. Jangan kau tiru aku. Itupun
kalau kau masih bisa meniru.
Sudahlah
jangan membicarakan tentang guruku itu terlalu banyak. Karena aku akan kembali
ke hari itu. Hari dimana menurutku hari kiamat dalam penddikan. Otak pas-pasan,
persiapan jauh lebih pas-pasan belum lagi teror sanksi bila menjadi salah satu
bagian dari ASRI( Asosiasi Siswa Remedial Indonesia) keren bukan? Istilah yangg
sangat populer di sekolahku. Tapi, sayangnya nasib para anggotanya tidak
sekeren namanya. Tekanan datang dari mana-mana. Teman, guru, kakak kelas, rasa
malu yang harus ditanggung dan belum lagi tekanan batin yang sangat luar biasa
membinasakan.
Itulah
sebabnya ASRI betul-betul menjadi mimpi buruk seburuk-buruknya yang sampai
beberapa minggu setelah itupun aku yakin tak akan hilang. Mungkin akan pudar. Tapi
terlalu sedikit dari waktu ke waktunya.
Dan
tentu sekarang kau bisa tebak alasanku menggunakan kekuatan kebohongan yang
sangat ajaib itu. Saat ulangan itu jalan satu-satunya yang masih terbuka
diantara jalan-jalan buntu yang telah lama pekat akan takdir yang siap menanti
adalah mencontek jalan yang sangat populer dan tentunya kau juga kenal kan? itu
kan trik sejuta umat.
Dan
seperti perasaan-perasaan para ‘kriminal’ lain. Rasa getar memang cukup terasa
hingga membuatku sedikit ragu tapi tak cukup untuk menyingkirkan kesempatan
yang sangat berharga itu. Lagipula kulihat ke samping kanan, kiri, kanannya
kiri dan kirinya kanan atau depan bahkan belakang pun sama. Kami berada di satu
jalan yang sama, jalan neraka.
Neraka
yang berasa surga dunia saat itu. Dan tentu semuanya berjalan lancar bahkan
sangat lancar. Menjadi yang pertama selesai sungguh rekor baru. Dan disusul
teman-temanku yang lain tak lama setelah itu. Sungguh kesuksesan bersama yang
luar biasa.
Namun
kami luput dari topik ‘naluri’ seorang guru yang sangat terkenal. Seakan
mempunyai sebuah antena dengan sinyal terbaik ia mampu mencium aroma bangkai
yang dengan parfum kata manis selalu kami coba untuk tutupi. Dengan suara
lantangnya ia berkata atau lebih tepatnya sedikit berteriak mengisi kekosongan
ruang kelas saat itu yang mulai terasa dingin bukan karena AC pada
sekolah-sekolah mewah atau kipas angin yang lebih sederhana. Tapi, keringat
dingin yang siap bercucuran kapan saja dari para penghuni ruangan itu.
“
Sangat menakjubkan. Kalian mempunyai kemajuan yang luar biasa. Saya sangat
senang memiliki siswa-siswa seperti kalian pintar, rajin dan mampu menngerjakan
ulangan dengan baik dan tentunya dengan jalan baik. Tanpa mencontek ataupun
melihat catatan. Iya kan?”
Bagai
sambaran petir betul-betul sangat menyengat hingga akhir. Keringat dingin
semakin banyak layaknya wabah yang terus berkembang tak pandang tempat, waktu
ataupun yang lainnya. Kalau saja ada cara
untuk menghilang dari tempat dan situasi itu aku siap membayar
berapapun. Kamu tak akan bisa membayangkan betapa mencekamnya. Dan dengan sisa
keberanian yang masih ada. Kami secara serentak namun tentu bisa kau tebak
tetap parau
“
Tentu bu.”
Guru
itu betul-betul berusaha menyentuh kami ke bagian yang terdalam. Tapi apa boleh
buat semuanya telah terjadi. Dan yang terpenting setelah itu adalah tetap
berusaha membuat kebohongan itu tetap hidup dan menyambung nyawa-nyawa kami.
Dari
kisah itu kau bisa menyimpulkan sendiri. Kaulah yang akan menentukan peran yang
akan kau berikan pada kebohongan dalam drama hidupmu.
Tapi,
sebaiknya pilihlah menjadi seorang pembohong lebih menguntungkan dan selamat.
Kau tahu kan saudaraku itu yang terlalu jujur akan hidup atau mungkin seseorang
yang bahkan tak kukenali sejak dulu hingga detik inilah yang terlalu sukses
pada kebohongannya hingga ia terlalu polos dan tertipu daya. Memang tak pernah
kuajari ia ilmu ‘tolak tipu daya’ untuk setidaknya berhasil lolos dari pengibul
seperti orang itu. Pengibul yang berhasil menenggelamkannya dalam tragedi yang
akhirnya tak mampu meloloskannya.
Aku
sudah trelalu lama membiarkannya hidup dalam imajinasinya bahwa semua orang di
dunia ini memiliki sisi-sisi baiknya hanya saja perlu dibangkitkan atau mungkin
dipancing untuk keluar. Pasti ia mendapat semua itu dari drama-drama korea yang
dengan setia ia nonton. Aku terlalu membiarkannya melayang pada imajinasinya
dari buku-buku fiksi koleksiku yang kini telah menjadi koleksinya.
Tentu
aku ingin sekali menyalahkan orang itu atas semua yang telah terjadi. Tapi
kepada siapapun aku tak tahu. Kenapa ia tega? Kenapa harus saudaraku? Dan
kenapa sekarang saat saudaraku masih ingin luwes menghirup oksigen?
Tak
berguna karena aku juga ta tahu siapa dia. Tapi aku berjanji 5 menit saja tuhan
membiarkanku bertatap muka dengannya maka tak akan kusia-siakan. Akan kubawa
kepalanya, badannya atau kakinya secara terpisah padamu saudaraku.
Memang
tak akan merubah banyak dan hanya akan terlihat seperti tindakan bodoh. Tapi,
akan sedikit membantuku untuk menebus rasa bersalah pada kenangan yang terus
saja mengusikku dalam tidur pada malamku dan istirahat saat siangku.
Kenangan
yang selalu saja membara tanpa jelas
dari siapa, untuk siapa atau bahkan mereka siapa. Kenangan yang tidak akan
pernah jelas namun sangat menyayat hati pada tiap adegan-adegan kenangan itu.
Walau
hanya terdengar suara aku cukup bisa memahami betapa pentingnya momen itu dan
betapa berharganya saudaraku itu dalam momen tak berjelas itu. Semuanya tak
jelas bahkan lebih muram dan muram lagi tiap momennya.
Hanya
suara wanita yang kuperkirakan berusia 45 tahun yang sangat tak jelas dan terdengar lebih parau dari
suaraku saat tenggelam dan bersenang-senang dalam kebohongan. Malah gemuruh
yang sangat mencekam jauh lebih dominan. Seakan penghancuran besar-besaran
telah terjadi. Atau apakah aku yang terlalu sering menonton film dokumenter
peperangan yang sangat kukagumi dan terbawa hingga ke alam bawah sadar serupa
dengan kasus-kasus lainnya. Lumrah.
Jadi,
bagaimana menurutmu? Tak usah kau jawab! Jawabanmu tidak juga terlalu penting.
Kenapa? Kau marah karena aku tak mendengarmu? Sudahlah jangan berpikir bahwa
kau sudah dekat dan cukup memahamiku karena bagiku kau itu ibaratkan seseorang
yang sedang linglung dan berkeliling kompleks dan kebetulan aku sedang
membutuhkanmu untuk sedikit mendengarku, sebatas itu.
Dan
satu hal lagi, kau memang tak pantas berkomentar apapun. Bukannya aku mencabut
hak asasi atau apapun milikmu itu. Tapi apa yang dapat kau komentari? Tentang
saudaraku? Kau bahkan tak mengenalnya. Bagaimana kau akan berbicara banyak?
Dengan berbohong, sudahlah itu permainan lama, jadul. Atau kau mau mencoba
mengarang opini dengan karakter ciptaanmu sendiri. Kau terlalu kreatif berarti
dan aku tidak perlu orang sepertimu.
Buat
apa orang kreatif yang ujung-ujungnya belok sedikit saja dan aku tidak akan
bisa membedakan antara kekreatifan dan kebohongan. Lihatlah kau bisa lihat
sendiri dari tadi kita berbicara pasti kita akan kembali berujung pada sesuatu
yang disebut keebohongan itu. Itulah sebabnya kejeliaan akan terus kucoba
pertahankan apalagi pada orang baru sepertimu. Kau tahu kenapa? Karena orang
baru yang terlalu banyak dipercayai malah akan berujung pada pengkhianatan dan
kau tahu rasanya? Sekali lagi akan menyakitkan.
Aku
sangat mengenal bahkan lebih dari kenal, aku memahami arti rasa sakit itu dan
kehidupanlah yang akhirnya membuatku paham akan itu. Yang membuatku akhirnya
tidak terlalu lemah pada hidup yang jika terus kubiarkan akan berbalik. Hiduplah
yang akan mengasihaniku.
Mungkin
inilah yang terjadi pada saudaraku dan teman-temannya. Mereka terlalu lemah
pada hidup mereka dan betul saja hari ini saat aku bercerita ia sudah tak ada
karena kelemahannya. Ia terlalu percaya pada hidup yang akan berujung bahagia
layaknya dongeng-dongeng kebanyakan. Ia tak mampu membedakan antara realita dan
ekspektasi. Padahal hanya benang merah tipis yang menghubungkan mereka,
kekecewaan. Selebihnya kau bisa.
Sayangnya
saudaraku ini hanya fokus pada benang merah tipis itu. Yang juga akhirnya
membawanya pada kemerah-merahan hidup yang terhubung langsung dengan gerbang
kematian. Dan ketika kekecewaan telah muncul akan menjalar lebih cepat dari
orang disekitarmu yang mengerti daripada kau sendiri.
Sama
halnya dengan aku saat itu. Masih sangat lekat dalam ingatanku saat dengan
riangnya aku datang berkunjung ke rumah saudaraku. Memang ia sangat mandiri dan
kutahu sejak umur 5 tahun ia sudah berpisah hidup dari kami dan berbaur dengan teman-temannya dalam
kesejukan itu setelahnya.
Tak
ada firasat apapun yang terlintas di benak atau fikiranku. Hanya dingin yang
terus saja mencengkramku saat itu karena memang dingin-dinginnya musim dingin
terus saja dibicarakan di semua stasiun televisi dan menjadi headline terpanas dalam dingin di
berbagai koran ataupun majalah. Dan hal itu jugalah yang membawaku datang
kesana dengan sehelai selimt lembut tebal, sup panas dan segala perlengakapan
musim dingin turut denganku siap menyambut.
Tapi,
pada saat itu seakan badai dan hujaman petir silih berganti merobek-robek
batinku. Semuanya berantakan. Disebelah kananku dapat kulihat kekokohan telah
hancur, harapan besar pun hancur bersamanya. Kemudian kugiring pandanganku di
sebelah kananku lagi dan betul-betul menyesakkan. Ketulusan dari mereka yang
bahkan belum terlalu lama menghirup karbon menyumbang oksigen punah tanpa
bekas. Saat itu kuharap semuanya berakhir disana ku tak ingin melihat yang
lebih lagi. Namun tentu seseorang itu tak mau membuang kesempatan hanya
menghabisi sebagian. Semuanya hancur berantakan.
Nyawa-nyawa
yang baru kemarin kulihat tumbuh subur kini melayang berlomba untuk mencapai
angkasa. Entah apa yang mereka rasakan dan entah apa yang aku rasakan. Tak ada
perasaan yang bercampur karena semuanya melebur jadi satu, kebencian.
Kebencian
yang akan mewakili sakit tiap nyawa yang kesakitan hari itu, termasuk
saudaraku. Lemas tak berdaya hingga
nafas terakhhirnya sekalipun tak dapat pernah kugenggam. Rambut hijaunya kering
menjadi coklat dan telah hilang asa. Penopang tubuhnya telah habis dimakan si
merah hingga meninggalkan sahabatnya si hitam yang senantiasa bergaris pada
tubuh saudaraku.
Ada
sesak yang terus saja ingin keluar dari batin, raga, bahkan hati terkecilku
saat itu. Aku betul-betul telah ciut dan seakan kehilangan sesuatu yang orang
lain sebut dengan keberanian. Tanganku tak lagi bisa mengepal, kakiku tak bisa
berhenti gemetar bahkan bibirku tak ingin berhenti bergumam dalam sunyi yang
aku sendiri tak mengerti.
Orang
itu aku yakin pasti orang yang sama yang juga telah membakar hatiku 12 tahun
yang lalu. Yang membuatku tak berdaya dalam gendongan ibu saat fajar saja belum
menampakkan diri. Yang membuatku dan mamak sesak nafas berhari-hari sekaligus
sesak hati karena telah membakar adikku
hidup-hidup dalam rumah sederhana kami. Yah...aku tahu pasti dia yang telah membakar
hutan ini sebelumnya dan perkiraanku tak akan meleset.
Kejadian
kali ini betul-betul telah memutar kembali memoriku hingga 12 tahun yang lalu.
Saat tak henti-hentinya aku menangis kehilangan sekaligus tangis untuk menyalahkan
diriku yang masih hidup saat seharusnya aku turut saja terbakar bersama adikku
yang saat itu bersekolah dasar pun belum. Saat itu terus saja terngiang-ngiang
wajah adikku yang menangis kepanasan dalam gubuk tua kami.
Tak
hanya diriku saja yang terus kupersalahkan tapi juga mamak yang tega-teganya
memilih menyelamatkanku dibanding adikku yang harusnya bernafas lebih lama
lagi. Tak pernah ada jawaban dari mamak tentang hal ini. Entah ia memang tak
punya alasan atau alasan yang terlalu naif untuk diutarakan.
Hingga
ajal datang dan siap menyambutnya barulah beberapa kalimat keluar dari mulutnya
yang mulai kaku dan akhirnya kutahu ternyata itulah jawaban yang selama ini
kunanti hingga 5 tahun lamanya.
“
Aku sangat ingin menyelamatkan kalian berdua tapi kau tahu kan mamak sendiri
dan mamak tak bisa apalagi hari itu kobaran api sudah sangat ganas. Jadi mamak
harus memilih dan akhirnya memutuskan untuk menyelamatkanmu lebih dulu dan
menyelamatkan adikmu setelahnya. Namun kau tahu mamak terlambat dan itulah yang
akan menjadi penyesalan mamak bahkan hingga hari ini.”
Saat
kudengar itu, hatiku tak dapat langsung menerimanya. Keterlambatan adalah
alasan yang tak pernah ingin kudengar.
Lalu ibu melanjutkan.
“
Kau tahu kenapa mamak menyelamatkanmu lebih dulu? Karena mamak yakin tak lama
lagi ajal akan datang menjeemput setelah tragedi itu dan adikmu juga masih
sangat muda saat itu. Dan yang harus kau tahu keselamatan hutan ini yang telah
berbaik hati memberi kita tempat tinggal sejak dulu juga menjadi bahan
pertimbangan mamak. Karena mamak tahu kau pasti akan menjaga hutan ini hingga
kejadian 5 tahun yang lalu tak akan terjadi lagi”
Itulah
kalimat terakhirnya yang sekaligus menjadi kalimat penyerahan tanggung jawab
yang menyesakkan. Hingga pembelaan itu selesai entah kenapa gejolak rasa
bersalah dalam hatiku tak kunjung hilang bahkan saat hembusan nafas terakhir
mamak yang berhembus memburu disamping gendang telingaku menyergap dan
mendorongku untuk ikhlas tapi sia-sia saja.
Tapi
hari ini orang jahat itu betul-betul membuatku geram ia tak hanya menghancurkan
hutan ini ia telah menghancurkan aku, kepercayaan mamakku dan pngorbanan
adikku. Pengorbanan yang menggiringku untuk semakin dan semakin sayang lagi
padanya walau tak dapat kugenggam namun setidaknya menyayangi apa yang ia
sayangi sedikit mengobati dan mengisi kekosongan ruang yang telah lama
ditinggalkan. Namun hari ini tanpa belas kasih ia membumihanguskan hutan ini
dan harapanku. Menghabiskan saudaraku yang kini hanya tinggal kayu hitam pekat bergaris
luka bersama tangis langit yang menemaninya dalam sepi.
Haruskah
kususul kalian?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar