Senin, 28 Maret 2016

Bismillahirrahmaanirrahiim. Cerpen tentang hutan. Enjoy it!



Kayu hitam pekat bergaris luka
“Akan kubunuh orang itu sekarang dan kutanam dalam-dalam”
Bantu aku untuk terus mengingat itu, karena kalimat itu akan terus menjuntai panjang saat harus bertemu dengan pembunuh yang telah membunuh kematian dalam hidupnya yang telah lama mati dalam hidup dan kehidupan orang banyak. Yang telah menggali hidup terdalam hingga terhapus dalam pandangan langit yang kini membiru bahkan menghitam tanpa tangis karenanya.
Selain membantuku mengingat sepenggal kalimat tak berharga itu, maukah kau sejenak mendengarku berkisah tentangnya dalam kisahku yang tak berjudul, tak bermulai dan tak berakhir. Itupun kalau kau tertarik. Jika tidak, aku tak peduli karena aku akan tetap bercerita. Memangnya sepenting apa kau? Kau kan hanya penikmat manja. Jadi akan kuteruskan.
Dia , yah dia. Sangat jelas aku bisa mengingat saat ia tertawa dalam tiupan angin yang perlahan bahkan ketika angin tak lagi bertiup sekalipun pada helaian rambutnya, ia tetap terlihat mengagumkan dan anggun saat berpadu dengan langit dan tanah dekorasi-Nya.
Benar-benar perpaduan yang indah. Bahkan saat melihatnya aku yakin kau tak akan tertarik untuk hal lainnya. Tak seperti boneka-boneka bodoh itu yang terus saja melanglang buana ke negeri seberang untuk menikmati, oh tidak... lebih tepatnya berpamer dan berpura-pura menikmati panorama yang disajikan tuhan disana layaknya menikmati surga dunia walau kutahu sebenarnya mereka tak mengerti itu. Hanya sia-sia tentunya. Dasar. Mungkin mereka sudah terlalu kaya.
Sudahlah tentu tak penting membahas mereka. Karena mereka  sama sekali tak pantas mendapatkan tempat  pada kata demi kata dalam cerita ini walau hanya sebait sekalipun. Untuk apa? Untuk mengotori pikiranmu tentang kebiasaan-kebiasaan aneh keasing-asingan mereka. Yang sama sekali tak berharga untukmu, untukku terlebih lagi untuknya.
Untuk hal yang selalu kucoba dan ia coba pertahankan. Dirinya yang selalu mencoba untuk menempatkan diri hingga setidaknya berharga di mata langit yang menaunginya teduh dan bermakna di relung tanah yang menyatukannya dengan hidupnya. Tapi, menurutku sama sekali tak penting untuknya berusaha. Buat apa lagi? Hanya untukmu tanpa manfaat baginya. Egois memang. Tapi kau harus tahu egois bisa menuntunmu menuju kebahagiaan. Kau setuju? Sudahlah.
Tapi, kau tak perlu terlalu khawatir, bukan hanya kau, teman atau kawanmu yang egois, bukan pula hanya aku atau teman-temanku.  Tapi semua. Sebangsa kita atau senegara kita bahkan sedunia kita pun bukan tuduhan yang berlebihan, karena sangat pantas. Aku akan kembali pada ceritaku untukmu.
Saat itu kami terus menghabiskan waktu yang telah menjadi jatah kami dari tuhan dengan tak satupun sedih yang dapat kau lihat. Bermain kenja, petak umpet atau sekedar menikmati sunrise atau sunset.Mungkin semuanya berawal dari sana. Mungkin juga sebelum atau sesudahahnya. Dan kau tak perlu tahu. Karena kau tidak termasuk bagian dari persahabatan kami. Dan jangan berpikir  karena kau bersedia meluangkan sedikit waktu untuk membaca omong kosongku ini, kau mendapatkan hak atas persahabatan kami. Tentu tidak.
Asal kau tahu aku padanya bagai seorang maniak yang terus saja terhenyak untuk terus mengikutinya dalam kaleidoskop waktu yang menegangkan. Dan melalui pos angin atau message dari akun facebook lucunya ia selalu membisikkan kisah teman-temannya yang selalu bermimpi sama dengannya, menikmati hidup yang bahkan sedikit saja lebih lama.
 Namun mimpi akan hidup yang telah menjadi asa yang terus putus pada orang yang telah memilikinya. Mimpi yang kini telah menjadi cinta yang terlalu dalam dan dipaksakan. Mimpi yang seakan-akan mimpi karena telah lelah dalam ruang penantian. Hingga akhirnya waktu hanya akan melalui mimpi dan hanya meninggalkan kata “berlalu”
Namun berlalu baginya, tak akan betul-betul berlalu hanya karena penanggalan kalendar yang sia-sia. Karena nasib baik terus turut padanya dan terus saja mengagetkanku. Begitupun saat tragedi yang membawa temannya untuk menikmati perjalanan ke puya layaknya ambe,  pada kisah salah satu novel terkenal yang terus kuceritakan untuknya hingga membuatnya fasih menuturkan kata demi kata jauh lebih baik dariku.  Saat tragedi itu ia tak tersentuh malapetaka sedikitpun. Namun membuatku marah mengganti sedih karena ia selalu membayangkan dirinya juga turut terkubur dalam dirinya lagi dan turut menunggu nasib hingga ke “puya” bersama teman-temannya.
“ Tentu akan sangat menyenangkan”  tuturnya pelan namun penuh harap. Apakah aku salah memillih novel itu untuknya? hingga ia terhanyut bahkan lebih dan lebih lagi. Terus kutahan dengan bulir-bulir kehidupan dan bubuk-bubuk hidup ajaib yang selalu kuusahakan untuknya. Dan keselamatan akhirnya miliknya dan beberapa yang lain tanpa bantuanku.
Tak pernah kulihat air matanya setelah itu, begitupun tawa. Tak pernah kulihat tanda kematian yang selalu saja mati dalam tanda-tanda yang tak kunjung bisa kubaca, begitupun tanda kehidupan.
Melalui pos angin dan kembali lagi kucoba melalaui facebook, twitter , path atau instagramnya tapi tak kunjung kutahu kondisinya, karena ia tak peduli mengirim yang lain.
Kemalangan teman-temanya telah melukainya dalam bahkan sangat dalam. Hingga aku sendiri tak tahu seberapa dalam itu. Hanya wajah yang selalu terpaut lebih tua sekarang. Andai aku tahu cara menenangkan siksa batinnya walau hanya sedetik, memandang keindahan senyumnya yang tipis namun menyimpan sejuta bahagia yang seakan tak pernah berujung.
Aku tak ingin lagi bertemu dengannya saat ini, hingga luka itu tidak terlalu besar lagi baginya. Hanya akan kubacakan puisi-puisi batin yang akan terdengar sempurna pada batinku dan batinnya yang mungkin sekarang masih terhubung atau juga tidak. Karena ia sudah terlalu benci melihat visualku maka audio pun tak apa. Aku tak ingin menghancurkan asa hidup saudaraku ini. Asa yang telah ia tumbuhkan jauh sebelum aku mengenal dunia. Asa yang telah membuatku tidur tak nyenyak dalam bayang-bayang tiap malam namun menyulut semangatku ketika matahari terbit hingga  menjelang senja datang.
Tawa yang berbinar layaknya para anak pesisir pantai saat bermain di pegunungan atau tawa yang selalu saja turut menghadirkan  tawa pula dari anak kaki atau puncak gunung saat mereka bermain dengan deru ombak yang menderu tanpa kenal lelah. Kini suram oleh pelangi mendung yanng muncul setiap kali membayangkan ia kini. Mungkinkah sebenarnya ini adalah tanda tragedi selanjutnya yang kau kirim tuhan saat itu?
Tapi aku sudah terlanjur terlalu rindu pada aroma semangat yang tumbuh menjamur dalam dirinya. Aku sangat menyayanginya dan mimpi-mimpinya. Andai semangat bisa dibagi layaknya foto atau artikel pada sosial media yang terkenal itu. Akan kubagi sedikit yang kupunya.
Aku tak tahu sejak kapan perasaan itu muncul padanya dan padaku. Namun tentu perasaan itu muncul sebelum aku mengenal sedih, benci ataupun dendam. Yang selalu saja muncul pada tiap-tiap dongeng yang diceritakan mamak padaku menjelang tengah malam. Entah darimana ia mendapatkan kisah bohong itu setiap harinya. Tapi, sangat menyenangkan larut dalam kebodohan itu.
Aku adalah penikmat kebohongan. Lembut bagai selimut namun akan berbalik menjadi sangat tajam layaknya pisau ketika terungkap dihadapan orang-orang yang membenci kebohongan. Sangat nikmat terdengarnya dan kau dasar munafik. Bagaimana kau membenci kebohongan yang sebenarnya tak bersalah? Asal kau tahu saja kebohongan itu tak bisa apa-apa tanpa kau yang menggerakkannya dan akhirnya malah menjatuhkanmu. Kasian kau.
Kebohongan memang mampu membunuh. Tapi, asal kau tahu lagi banyak orang yang menyambung hidup hanya dengan suatu kebohongan. Sebut saja koruptor, hakim tersuap, penjual bakso boraks ataupun mungkin juga kau pernah terselamatkan karena sebuah kebohongan.
Memangnya mereka hobi dengan itu? Hobi yang baik memang. Haruskah kupelajari? Ahh...tidaklah aku bahkan sudah sangat hapal detailnya.  
Aku akui aku pun pernah larut ke dalamnya karena aku tak sesuci malaikat. Saat itu aku berada diambang keputusasaan pada saat harus menghadapi ulangan layaknya siswa-siswa yang lain. Jangan bilang kau baru tahu aku adalah seorang siswa. Kau pembaca yang keterlaluan. Tapi sudahlah setidaknya kau cukup baik hingga mampu sampai ke tahap ini.
Saat ulangan entah kenapa guruku yang satu ini tidak pernah lepas dari kebiasaannya untuk memberi soal yang tidak tanggung-tanggung membawa para siswanya ke ambang batas keputusasaan ditambah lagi satu kebiasaannya yang betul-betul dapat membunuh semua murid. Bagaimanapun cerdas atau rajinnya kau. Aku yakin dalam 3 kali pertemuan saja atau setidaknya 2 kali ulangan harian kau akan menyerah saat itu juga. Tapi, harus melanjutkan dalam keadaan terpaksa. Kau pasti akan mengasihani dirimu mulai saat itu, karena harus bertemu dengan mahkluk seperti dia.
Mungkin terdengar sangat tidak sopan untuk membicarakan guru seperti itu yang harusnya kita sanjung dan memang pantas. Tapi, hanya untukmu aku berani bicara seperti ini, dan ingat ini hanya sekedar berbagi pengalaman saja. Jangan kau tiru aku. Itupun kalau kau masih bisa meniru.
Sudahlah jangan membicarakan tentang guruku itu terlalu banyak. Karena aku akan kembali ke hari itu. Hari dimana menurutku hari kiamat dalam penddikan. Otak pas-pasan, persiapan jauh lebih pas-pasan belum lagi teror sanksi bila menjadi salah satu bagian dari ASRI( Asosiasi Siswa Remedial Indonesia) keren bukan? Istilah yangg sangat populer di sekolahku. Tapi, sayangnya nasib para anggotanya tidak sekeren namanya. Tekanan datang dari mana-mana. Teman, guru, kakak kelas, rasa malu yang harus ditanggung dan belum lagi tekanan batin yang sangat luar biasa membinasakan.
Itulah sebabnya ASRI betul-betul menjadi mimpi buruk seburuk-buruknya yang sampai beberapa minggu setelah itupun aku yakin tak akan hilang. Mungkin akan pudar. Tapi terlalu sedikit dari waktu ke waktunya.
Dan tentu sekarang kau bisa tebak alasanku menggunakan kekuatan kebohongan yang sangat ajaib itu. Saat ulangan itu jalan satu-satunya yang masih terbuka diantara jalan-jalan buntu yang telah lama pekat akan takdir yang siap menanti adalah mencontek jalan yang sangat populer dan tentunya kau juga kenal kan? itu kan trik sejuta umat.
Dan seperti perasaan-perasaan para ‘kriminal’ lain. Rasa getar memang cukup terasa hingga membuatku sedikit ragu tapi tak cukup untuk menyingkirkan kesempatan yang sangat berharga itu. Lagipula kulihat ke samping kanan, kiri, kanannya kiri dan kirinya kanan atau depan bahkan belakang pun sama. Kami berada di satu jalan yang sama, jalan neraka.
Neraka yang berasa surga dunia saat itu. Dan tentu semuanya berjalan lancar bahkan sangat lancar. Menjadi yang pertama selesai sungguh rekor baru. Dan disusul teman-temanku yang lain tak lama setelah itu. Sungguh kesuksesan bersama yang luar biasa.
Namun kami luput dari topik ‘naluri’ seorang guru yang sangat terkenal. Seakan mempunyai sebuah antena dengan sinyal terbaik ia mampu mencium aroma bangkai yang dengan parfum kata manis selalu kami coba untuk tutupi. Dengan suara lantangnya ia berkata atau lebih tepatnya sedikit berteriak mengisi kekosongan ruang kelas saat itu yang mulai terasa dingin bukan karena AC pada sekolah-sekolah mewah atau kipas angin yang lebih sederhana. Tapi, keringat dingin yang siap bercucuran kapan saja dari para penghuni ruangan itu.
“ Sangat menakjubkan. Kalian mempunyai kemajuan yang luar biasa. Saya sangat senang memiliki siswa-siswa seperti kalian pintar, rajin dan mampu menngerjakan ulangan dengan baik dan tentunya dengan jalan baik. Tanpa mencontek ataupun melihat catatan. Iya kan?”
Bagai sambaran petir betul-betul sangat menyengat hingga akhir. Keringat dingin semakin banyak layaknya wabah yang terus berkembang tak pandang tempat, waktu ataupun yang lainnya. Kalau saja ada cara  untuk menghilang dari tempat dan situasi itu aku siap membayar berapapun. Kamu tak akan bisa membayangkan betapa mencekamnya. Dan dengan sisa keberanian yang masih ada. Kami secara serentak namun tentu bisa kau tebak tetap parau
“ Tentu bu.”
Guru itu betul-betul berusaha menyentuh kami ke bagian yang terdalam. Tapi apa boleh buat semuanya telah terjadi. Dan yang terpenting setelah itu adalah tetap berusaha membuat kebohongan itu tetap hidup dan menyambung nyawa-nyawa kami.
Dari kisah itu kau bisa menyimpulkan sendiri. Kaulah yang akan menentukan peran yang akan kau berikan pada kebohongan dalam drama hidupmu.
Tapi, sebaiknya pilihlah menjadi seorang pembohong lebih menguntungkan dan selamat. Kau tahu kan saudaraku itu yang terlalu jujur akan hidup atau mungkin seseorang yang bahkan tak kukenali sejak dulu hingga detik inilah yang terlalu sukses pada kebohongannya hingga ia terlalu polos dan tertipu daya. Memang tak pernah kuajari ia ilmu ‘tolak tipu daya’ untuk setidaknya berhasil lolos dari pengibul seperti orang itu. Pengibul yang berhasil menenggelamkannya dalam tragedi yang akhirnya tak mampu meloloskannya.
Aku sudah trelalu lama membiarkannya hidup dalam imajinasinya bahwa semua orang di dunia ini memiliki sisi-sisi baiknya hanya saja perlu dibangkitkan atau mungkin dipancing untuk keluar. Pasti ia mendapat semua itu dari drama-drama korea yang dengan setia ia nonton. Aku terlalu membiarkannya melayang pada imajinasinya dari buku-buku fiksi koleksiku yang kini telah menjadi koleksinya.
Tentu aku ingin sekali menyalahkan orang itu atas semua yang telah terjadi. Tapi kepada siapapun aku tak tahu. Kenapa ia tega? Kenapa harus saudaraku? Dan kenapa sekarang saat saudaraku masih ingin luwes menghirup oksigen?
Tak berguna karena aku juga ta tahu siapa dia. Tapi aku berjanji 5 menit saja tuhan membiarkanku bertatap muka dengannya maka tak akan kusia-siakan. Akan kubawa kepalanya, badannya atau kakinya secara terpisah padamu saudaraku.
Memang tak akan merubah banyak dan hanya akan terlihat seperti tindakan bodoh. Tapi, akan sedikit membantuku untuk menebus rasa bersalah pada kenangan yang terus saja mengusikku dalam tidur pada malamku dan istirahat saat siangku.
Kenangan yang selalu saja membara tanpa  jelas dari siapa, untuk siapa atau bahkan mereka siapa. Kenangan yang tidak akan pernah jelas namun sangat menyayat hati pada tiap adegan-adegan kenangan itu.
Walau hanya terdengar suara aku cukup bisa memahami betapa pentingnya momen itu dan betapa berharganya saudaraku itu dalam momen tak berjelas itu. Semuanya tak jelas bahkan lebih muram dan muram lagi tiap momennya.
Hanya suara wanita yang kuperkirakan berusia 45 tahun yang sangat  tak jelas dan terdengar lebih parau dari suaraku saat tenggelam dan bersenang-senang dalam kebohongan. Malah gemuruh yang sangat mencekam jauh lebih dominan. Seakan penghancuran besar-besaran telah terjadi. Atau apakah aku yang terlalu sering menonton film dokumenter peperangan yang sangat kukagumi dan terbawa hingga ke alam bawah sadar serupa dengan kasus-kasus lainnya. Lumrah.
Jadi, bagaimana menurutmu? Tak usah kau jawab! Jawabanmu tidak juga terlalu penting. Kenapa? Kau marah karena aku tak mendengarmu? Sudahlah jangan berpikir bahwa kau sudah dekat dan cukup memahamiku karena bagiku kau itu ibaratkan seseorang yang sedang linglung dan berkeliling kompleks dan kebetulan aku sedang membutuhkanmu untuk sedikit mendengarku, sebatas itu.
Dan satu hal lagi, kau memang tak pantas berkomentar apapun. Bukannya aku mencabut hak asasi atau apapun milikmu itu. Tapi apa yang dapat kau komentari? Tentang saudaraku? Kau bahkan tak mengenalnya. Bagaimana kau akan berbicara banyak? Dengan berbohong, sudahlah itu permainan lama, jadul. Atau kau mau mencoba mengarang opini dengan karakter ciptaanmu sendiri. Kau terlalu kreatif berarti dan aku tidak perlu orang sepertimu.
Buat apa orang kreatif yang ujung-ujungnya belok sedikit saja dan aku tidak akan bisa membedakan antara kekreatifan dan kebohongan. Lihatlah kau bisa lihat sendiri dari tadi kita berbicara pasti kita akan kembali berujung pada sesuatu yang disebut keebohongan itu. Itulah sebabnya kejeliaan akan terus kucoba pertahankan apalagi pada orang baru sepertimu. Kau tahu kenapa? Karena orang baru yang terlalu banyak dipercayai malah akan berujung pada pengkhianatan dan kau tahu rasanya? Sekali lagi akan menyakitkan.
Aku sangat mengenal bahkan lebih dari kenal, aku memahami arti rasa sakit itu dan kehidupanlah yang akhirnya membuatku paham akan itu. Yang membuatku akhirnya tidak terlalu lemah pada hidup yang jika terus kubiarkan akan berbalik. Hiduplah yang akan mengasihaniku.
Mungkin inilah yang terjadi pada saudaraku dan teman-temannya. Mereka terlalu lemah pada hidup mereka dan betul saja hari ini saat aku bercerita ia sudah tak ada karena kelemahannya. Ia terlalu percaya pada hidup yang akan berujung bahagia layaknya dongeng-dongeng kebanyakan. Ia tak mampu membedakan antara realita dan ekspektasi. Padahal hanya benang merah tipis yang menghubungkan mereka, kekecewaan. Selebihnya kau bisa.
Sayangnya saudaraku ini hanya fokus pada benang merah tipis itu. Yang juga akhirnya membawanya pada kemerah-merahan hidup yang terhubung langsung dengan gerbang kematian. Dan ketika kekecewaan telah muncul akan menjalar lebih cepat dari orang disekitarmu yang mengerti daripada kau sendiri.
Sama halnya dengan aku saat itu. Masih sangat lekat dalam ingatanku saat dengan riangnya aku datang berkunjung ke rumah saudaraku. Memang ia sangat mandiri dan kutahu sejak umur 5 tahun ia sudah berpisah hidup dari  kami dan berbaur dengan teman-temannya dalam kesejukan itu setelahnya.
Tak ada firasat apapun yang terlintas di benak atau fikiranku. Hanya dingin yang terus saja mencengkramku saat itu karena memang dingin-dinginnya musim dingin terus saja dibicarakan di semua stasiun televisi dan menjadi headline terpanas dalam dingin di berbagai koran ataupun majalah. Dan hal itu jugalah yang membawaku datang kesana dengan sehelai selimt lembut tebal, sup panas dan segala perlengakapan musim dingin turut denganku siap menyambut.
Tapi, pada saat itu seakan badai dan hujaman petir silih berganti merobek-robek batinku. Semuanya berantakan. Disebelah kananku dapat kulihat kekokohan telah hancur, harapan besar pun hancur bersamanya. Kemudian kugiring pandanganku di sebelah kananku lagi dan betul-betul menyesakkan. Ketulusan dari mereka yang bahkan belum terlalu lama menghirup karbon menyumbang oksigen punah tanpa bekas. Saat itu kuharap semuanya berakhir disana ku tak ingin melihat yang lebih lagi. Namun tentu seseorang itu tak mau membuang kesempatan hanya menghabisi sebagian. Semuanya hancur berantakan.
Nyawa-nyawa yang baru kemarin kulihat tumbuh subur kini melayang berlomba untuk mencapai angkasa. Entah apa yang mereka rasakan dan entah apa yang aku rasakan. Tak ada perasaan yang bercampur karena semuanya melebur jadi satu, kebencian.
Kebencian yang akan mewakili sakit tiap nyawa yang kesakitan hari itu, termasuk saudaraku. Lemas tak  berdaya hingga nafas terakhhirnya sekalipun tak dapat pernah kugenggam. Rambut hijaunya kering menjadi coklat dan telah hilang asa. Penopang tubuhnya telah habis dimakan si merah hingga meninggalkan sahabatnya si hitam yang senantiasa bergaris pada tubuh saudaraku.
Ada sesak yang terus saja ingin keluar dari batin, raga, bahkan hati terkecilku saat itu. Aku betul-betul telah ciut dan seakan kehilangan sesuatu yang orang lain sebut dengan keberanian. Tanganku tak lagi bisa mengepal, kakiku tak bisa berhenti gemetar bahkan bibirku tak ingin berhenti bergumam dalam sunyi yang aku sendiri tak mengerti.
Orang itu aku yakin pasti orang yang sama yang juga telah membakar hatiku 12 tahun yang lalu. Yang membuatku tak berdaya dalam gendongan ibu saat fajar saja belum menampakkan diri. Yang membuatku dan mamak sesak nafas berhari-hari sekaligus sesak hati karena  telah membakar adikku hidup-hidup dalam rumah sederhana kami. Yah...aku tahu pasti dia yang telah membakar hutan ini sebelumnya dan perkiraanku tak akan meleset.
Kejadian kali ini betul-betul telah memutar kembali memoriku hingga 12 tahun yang lalu. Saat tak henti-hentinya aku menangis kehilangan sekaligus tangis untuk menyalahkan diriku yang masih hidup saat seharusnya aku turut saja terbakar bersama adikku yang saat itu bersekolah dasar pun belum. Saat itu terus saja terngiang-ngiang wajah adikku yang menangis kepanasan dalam gubuk tua kami.
Tak hanya diriku saja yang terus kupersalahkan tapi juga mamak yang tega-teganya memilih menyelamatkanku dibanding adikku yang harusnya bernafas lebih lama lagi. Tak pernah ada jawaban dari mamak tentang hal ini. Entah ia memang tak punya alasan atau alasan yang terlalu naif untuk diutarakan.
Hingga ajal datang dan siap menyambutnya barulah beberapa kalimat keluar dari mulutnya yang mulai kaku dan akhirnya kutahu ternyata itulah jawaban yang selama ini kunanti hingga 5 tahun lamanya.
“ Aku sangat ingin menyelamatkan kalian berdua tapi kau tahu kan mamak sendiri dan mamak tak bisa apalagi hari itu kobaran api sudah sangat ganas. Jadi mamak harus memilih dan akhirnya memutuskan untuk menyelamatkanmu lebih dulu dan menyelamatkan adikmu setelahnya. Namun kau tahu mamak terlambat dan itulah yang akan menjadi penyesalan mamak bahkan hingga hari ini.”
Saat kudengar itu, hatiku tak dapat langsung menerimanya. Keterlambatan adalah alasan yang tak pernah ingin  kudengar. Lalu ibu melanjutkan.
“ Kau tahu kenapa mamak menyelamatkanmu lebih dulu? Karena mamak yakin tak lama lagi ajal akan datang menjeemput setelah tragedi itu dan adikmu juga masih sangat muda saat itu. Dan yang harus kau tahu keselamatan hutan ini yang telah berbaik hati memberi kita tempat tinggal sejak dulu juga menjadi bahan pertimbangan mamak. Karena mamak tahu kau pasti akan menjaga hutan ini hingga kejadian 5 tahun yang lalu tak akan terjadi lagi”
Itulah kalimat terakhirnya yang sekaligus menjadi kalimat penyerahan tanggung jawab yang menyesakkan. Hingga pembelaan itu selesai entah kenapa gejolak rasa bersalah dalam hatiku tak kunjung hilang bahkan saat hembusan nafas terakhir mamak yang berhembus memburu disamping gendang telingaku menyergap dan mendorongku untuk ikhlas tapi sia-sia saja.
Tapi hari ini orang jahat itu betul-betul membuatku geram ia tak hanya menghancurkan hutan ini ia telah menghancurkan aku, kepercayaan mamakku dan pngorbanan adikku. Pengorbanan yang menggiringku untuk semakin dan semakin sayang lagi padanya walau tak dapat kugenggam namun setidaknya menyayangi apa yang ia sayangi sedikit mengobati dan mengisi kekosongan ruang yang telah lama ditinggalkan. Namun hari ini tanpa belas kasih ia membumihanguskan hutan ini dan harapanku. Menghabiskan saudaraku yang kini hanya tinggal kayu hitam pekat bergaris luka bersama tangis langit yang menemaninya dalam sepi.
Haruskah kususul kalian?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar